Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Seorang caleg yang datang ke warga komunitas, ditanya warga pemilih yang ditemuinya, “pian kena menjelang pemilu membom jua kah pak? Kalau pian membom, nyaman kami tunggui”. Padahal bukan kali pertama warga komunitas tersebut ditemuinya, sudah kesekian kali dan bahkan dengan berbagai program pemberdayaan.
“Kalau kada membom kenapa garang?” Tanya si caleg yang memang tidak punya sumber dana melakukan itu. “Khawatir apa yang sudah pian bina, pian berdayakan, pada akhirnya tahambur karena ada yang membom pa ai," kata warga pemilih serempak menyampaikan kekhawatirannya.
Berapa biasanya kalau membom? Tanya sang caleg penuh penasaran. “Rata-rata 200 ribu pak ai, atau 250 ribu. Kalau 100 ribu kada payu lagi, kada akan dianggap, membuang-buang duit aja, pasti ada nang mambilas dengan 200 ribu," jawab warga pemilih dengan polos.
Rupanya, begitulah gambaran fenomena masifnya money politics. Maka yang berpeluang terpilih hanya yang mampu membom. Biar tidak pintar, tidak berkualitas, bahkan tidak punya kapasitas, asal banyak duit, mudah saja duduk di legislatif.
Maka, tidak usah mengeluh bila anggota legislatifnya tidak bekerja. Tidak usah sedih bila perubahan dan perbaikan tata kelola pemerintahan tidak pernah terjadi. Sebab yang terpilih tidak perlu mempertanggungjawabkan, toh sudah dibayar lunas dengan cara membom.
Di sinilah peluang pemilih pemula melakukan perubahan. Jumlahnya yang mencapai 60%, sangat signifikan memperbaiki kualitas pemilu – mengubah politik menjadi lebih baik. Syaratnya, tidak ikut terpapar money politics.
Sangat yakin anak muda pantang terpapar money politics, sebab hal tersebut menghinakan integritas generasi milenial yang berkobar-kobar menyongsong Indonesia Emas.
Indonesia Emas merupakan prospek masa depan yang hanya terjadi bila politiknya bersih, dan itu terwujud kalau anak mudanya melek politik, tidak bungkam walau ada yang membom. (nm)