Oleh: Mohammad Effendy (Forum Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Tayangan yag beredar luas terutama di media sosial memberitakan mengenai pernyataan Presiden Joko Widodo yang secara lugas menyebutkan bahwa seorang presiden tidak dilarang untuk berpihak dan juga melakukan kampanye dengan syarat tidak menggunakan fasilitas negara. Pernyataan tersebut memunculkan pro-kontra, apakah aturan pemilu memang seperti itu.
Presiden memang mengemban dua jabatan yakni; memegang jabatan publik dan sekaligus jabatan politik. Presiden dalam kedudukannya sebagai pejabat publik, maka harus mengayomi semua pihak yang sedang melakukan kontestasi, akan tetapi sebagai pejabat politik maka presiden dapat saja berpihak kepada salah satu kontestan karena adanya keterkaitan kepentingan politik.
Oleh karena itu hukum pemilu mengatur agar terdapat keseimbangan antara kedua jabatan tersebut. UU No. 17 Tahun 2017 tentang Pemilu secara normatif mengatur mengenai pelaksanaan kedua jabatan dimaksud agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan yang melekat pada diri seorang presiden.
Menurut ketentuan Pasal 28 ditegaskan bahwa ada 2 syarat yang harus dipenuhi oleh seorang presiden yang akan ikut berkampanye. Pertama, tidak boleh menggunakan fasilitas negara kecuali untuk protokol keamanan. Kedua, presiden harus cuti di luar tanggungan negara. Sebagai pejabat publik, presiden yang ikut kampanye jelas tidak boleh menggunakan fasilitas negara.
Sementara syarat cuti di luar tanggungan negara adalah untuk memastikan bahwa ketika ia sedang ikut berkampanye dan hal itu jelas sebagai keberpihakan, maka ia harus melepaskan jabatan kepresidenannya. Hukum administrasi pemerintahan juga memberikan penegasan bahwa pejabat yang sedang cuti tidak diperbolehkan menggunakan jabatannya untuk kegiatan apapun termasuk menandatangani dokumen penyelenggaraan pemerintahan.
Seharusnya penyelenggara pemilu (KPU- BAWASLU) merespon secara cepat pernyataan presiden yang viral tersebut dengan memberikan penjelasan posisi presiden. Jika presiden memang terlibat dalam kegiatan kampanye, maka harus dipastikan bahwa kedua syarat yang disebutkan dalam UU Pemilu telah terpenuhi. Hal ini penting agar tidak terjadi polemik dan kekisruhan baik dalam perspektif hukum maupun secara sosial.
Problem sosial yang berkembang dalam masyarakat adalah karena keberpihakan Presiden Joko Widodo tersebut terkait dengan adanya calon Wakil Presiden yang mendampingi Prabowo Subianto yakni Gibran Rakabuming Raka tidak lain adalah putera presiden sendiri. Kacamata hukum tentu saja harus tetap netral bahwa keberpihakan itu sesuatu yang dibolehkan karena tidak terlepas dari kontestasi politik untuk memperebutkan suatu jabatan politik.
Kritikan tajam yang dilontarkan banyak pihak terhadap sikap presiden tentu tidak dapat dilepaskan dari beberapa kejadian sebelumnya.
Lolosnya Gibran menjadi calon Wakil Presiden karena dilegitimasi oleh putusan MK, maraknya penyerahan Bansos di waktu tahapan kampanye yang seolah-olah dari presiden, mobilisasi kepala desa agar memenangkan paslon yang didukung presiden dan lain-lain –semua rentetan itulah yang menjadi latar pemicu ketidaknetralan presiden.