BORNEOTREND.COM - Ada yang berpendapat, yang penting menangkan dulu pertarungan politik. Entah dengan cara jujur atau cara curang. Setelah menang dan terpilih, baru menebus atau membayar dengan berbagai kebaikan. Maka segala kecurangan yang telah dilakukan, akan dilupakan. Bukankah sejarah ditentukan oleh pemenang?
Pendapat itu tentu saja mengancam proses demokrasi. Sebab, semua yang dilarang akan dilanggar. Segala yang diharamkan akan laksanakan. Para petugas dikondisikan. Aturan-aturan disesuaikan. Akhirnya, hilanglah harapan pada demokrasi yang menjanjikan proses berkeadilan. Karena semuanya sudah diatur serta disiasati agar menang.
Pemilu yang jujur dan adil, hanya mungkin terjadi bila aturan-aturan menyangkut sistem penyelenggaraan disiapkan sebaik-baiknya, dibuat agar tercipta kejujuran dan keadilan.
Begitu juga para penyelenggara, mesti diisi oleh orang-orang beriintegritas, sehingga semua percaya bahwa proses dijalankan serta dikawal sesuai aturan main yang sudah ditetapkan.
Warga pemilih pun harus taat pada aturan. Bahkan mesti berpartisipasi mengawal dan mewujudkan pemilu yang jujur dan adil tersebut. Cara yang paling mudah dengan “cerewet” pada hal-hal yang dianggap melanggar atau bertentangan dengan aturan. Semakin cerewet untuk mewujudkan hal-hal baik, semakin tinggi partisipasinya, dan pemilu pasti semakin berkualitas.
Politik yang baik, harus berpijak pada aturan-aturan main yang baik pula. Sehingga penyelenggara dan sistem penyelenggaraan, mengacu pada ketentuan yang baik tersebut. Tidak mungkin sebebas dan sesukanya. Termasuk dengan cara curang menyiasati segala aturan main.
Kebudayaan Banjar menyindir halus praktik yang tidak mengacu pada aturan, melalui ungkapan “kaya kangkung kada baruas”.
Ada apa dengan kangkung? Mungkin karena tidak sama dengan bambu. Tidak ada ruas pada kangkung. Ruas dianggap sebagai aturan hukum, norma, adat istiadat, termasuk segala nilai-nilai yang disepakati. Pembatas antara boleh dan tidak boleh, agar kehidupan semakin beradab. (nm)