Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Yang paling seru dan menarik untuk disimak dari debat capres dan cawapres, adalah justru setelahnya. Bahkan elektabilitasnya ditentukan setelah para pakar, ahli, masyarakat awam dan netizen berkomentar. Ditambah berbagai kreatifitas “meme” yang menggiring pendapat dan opini masyarakat
Jangan anggap remeh. Keseruan pembicaraan lepas yang tidak serius di tengah masyarakat, dengan segala cara analisisnya, tentu mempegaruhi pilihan akhir saat di bilik suara. Apalagi ketika masa mengambang yang belum menentukan pilihan jumlahnya masih sangat besar, semakin membuka peluang terjadinya perubahan dukungan.
Percakapan tidak serius, sambil lalu, tanpa sekat dan tidak membutuhkan kedalaman teori serta analisis, terjadi di tengah masyarakat tanpa bisa dikontrol atau dikendalikan siapapun. Terhadap yang seperti ini kebudayaan Banjar menyebutnya sebagai “pandiran di getek”. Banjar hulu menyebutnya gitik
Getek, merupakan sarana penyeberangan sungai. Dulu belum banyak jembatan. Dengan menaiki getek, orang menyeberang sungai. Sambil duduk di getek, mengisi waktu berbincang tentang berbagai hal. Berbincang lepas. Kadang serius, kadang bercanda. Silang pendapat, diselesaikan dengan canda tawa. Tidak ada kesimpulan, tidak perlu komitmen. Bila getek sampai di seberang, pembicaraan pun selesai
Kalau ada perbincangan tentang sesuatu yang serius, tetapi tidak ingin dianggap sebagai pendapat resmi. Hanya pendapat bebas, tanpa terikat status, posisi, kedudukan, ataupun jabatan, maka disebut pandiran di getek.
Getek memang bukan forum diskusi resmi. Getek ruang publik kultural, tempat orang bertemu tanpa sengaja. Berinteraksi sesaat. Karena bukan forum resmi, tidak dapat menjadi rujukan. Hanya menjadi omongan saja, bebas dari konsekuensi apapun
Namun jangan sepelekan pandiran di getek, sebab boleh jadi cermin suara publik tingkat bawah, tentang sesuatu yang tidak didapatkan pada forum resmi, bahkan forum debat capres–cawapres, dan berpengaruh pada elektabilitas. (nm)