Oleh: Mohammad Effendy (Forum Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Dalam Pemilu 2024 terutama pada perebutan kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Provinsi Jawa Barat, terjadi fenomena menarik. Salah seorang calon DPD yang berlatar belakang komedian bernama Alfiansyah namun lebih popular dipanggil “Komeng Uhuy” berhasil meraih suara tertinggi baik antar calon DPD di tempat ia mencalonkan diri (Jabar), maunpun antar calon DPD secara nasional.
Angka dukungan yang berhasil dikumpulkannya mencapai nominal yang fantastis, yakni di atas satu setengah jutaan. Komeng menjelaskan secara terbuka saat ia diwawancarai Kompas TV, bahwa ia sendiri tidak pernah memperkirakan jumlah dukungan sebesar itu. Ia ikut kontestasi sebagai calon DPD tanpa mempersiapkan diri secara serius sebagaimana calon lainnya.
Maksud tidak mempersiapkan diri tersebut adalah; Komeng tidak membuat banyak baleho untuk dipasang atau alat peraga kampanye lainnya. Selain itu ia hanya dibantu oleh 2 orang asistennya untuk mengurus hal-hal tehnis seperti menyiapkan berkas pencalonan beserta persyaratannya. Komeng juga tidak memiliki tim sukses yang mengkampanyekan dirinya atau tugas-tugas lain. Foto yang dikirim ke KPU untuk surat suara adalah visualisasi wajah Komeng sebagai komedian, bukan foto formal layaknya calon yang akan menduduki jabatan disebuah lembaga negara.
Mengapa Komeng berhasil meraih suara dukungan pemilih? Pertanyaan tersebut dapat diberikan jawaban dan analisis dalam berbagai perspektif. Sebagai komedian papan atas yang sudah malang-melintang menggeluti profesinya, tentu Komeng memiliki banyak penggemar dari berbagai kalangan termasuk kelompok milenial. Oleh karena secara statistik kelompok milenial jumlahnya sangat tinggi, maka mereka inilah yang mungkin memberikan dukungannya kepada Komeng, atau dapat juga ditambah dengan suara emak-emak yang tentu sangat mengenal wajah Komeng.
Dugaan bahwa kelompok milenial yang banyak memberikan suara dukungan dikarenakan mereka itu tidak banyak mempertimbangkan apa tugas, kewenangan dan fungsi DPD. Bagi kelompok milenial, Komeng adalah figur yang selama ini memberikan hiburan dengan celetukan dan candanya yang mengundang tawa, sehingga seperti telah terjalin hubungan emosional antar mereka, dibanding dengan calon lain yang tidak mereka kenal.
Hubungan emosional yang terjalin antara figur Komeng dengan pemilih milenial tentu berbeda dengan hubungan yang selama ini terjadi antara calon Anggota legislatif/DPD dengan para pendukungnya yang bersifat transaksional. Terjadinya interaksi antara warga masyarakat yang memberikan suaranya kepada calon anggota legislatif/DPD bukan karena adanya jalinan emosional, tetapi semata-mata hubungan “jual-beli” suara.
Kehadiran Komeng dalam jagat politik nasional yang berhasil mendapat dukungan suara sangat tinggi tanpa melakukan upaya yang bersifat transaksional menarik untuk dibedah. Seseorang yang memiliki popularitas tinggi memang dapat menjadi modal sosial, akan tetapi sepertinya modal sosial tersebut belum cukup untuk mendapatkan dukungan masyarakat secara sukarela. Popularitas orang tersebut harus dilengkapi dengan performance yang bersifat spesifik, memiliki daya tarik tersendiri di bidang tertentu serta perilaku dan tindakannya dapat dipercaya banyak orang.
Mungkinkah orang-orang seperti itu akan lahir dalam konstelasi politik negeri kita yang sekarang ini penuh dengan hingar-bingar berbagai kebohongan. Sejarah memang telah memberi catatan, orang-orang besar biasanya lahir bukan dalam suasana dan kondisi yang normal, tetapi mereka hadir justeru di tengah bangsanya yang sedang mengalami dan dilanda krisis besar.