DISKUSI: Narasumber saat bicara terkait Golput - Foto Dok Agustina |
BORNEOTREND.COM, KALTIM- Golput, singkatan dari golongan putih, adalah istilah yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum (Pemilu). Fenomena ini telah ada sejak Pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955, namun mengalami perubahan makna dan motivasi seiring dengan perkembangan politik dan sosial di tanah air.
Pada awalnya, golput merupakan gerakan politik dari orang-orang yang kecewa terhadap Pemilu, khususnya pada masa Orde Baru. Istilah golput pertama kali muncul menjelang Pemilu 1971, saat itu akibat kebijakan-kebijakan Soeharto, partai politik yang bertarung jauh lebih sedikit dibanding Pemilu 1955. Hal ini menyebabkan kekecewaan dari kelompok pemuda yang kemudian mencanangkan gerakan golput.
"Kami berkumpul di sini sebagai komunitas pemuda di Kaltim yang merupakan kumpulan aktivis mahasiswa menyuarakan bahwa fenomena golput yang secara sederhana bisa diartikan sebagai sebuah sikap untuk tidak memilih kandidat yang ada," ujar Febri Hendrawansyah, salah satu narasumber yang diwawancarai.
Menurut majalah Express edisi 14 Juni 1971, golput saat itu digambarkan sebagai gerakan datang ke tempat pemungutan suara dan mencoblos bagian putih dari kertas suara di sekitar tanda gambar penunjukan tidak, sehingga suara yang diberikan menjadi tidak sah. Salah satu tokoh yang menjadi motor penggerak golput adalah Arif Budiman, arif merupakan salah satu aktivis 66 yang menginginkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dalam situasi apapun.
"Dalam buku Kebebasan, Negara, Pembangunan 1965-2005 yang ditulis oleh Arif Budiman, dia juga merasa kecewa karena Soeharto melanggar asas demokrasi dengan membatasi jumlah parpol peserta Pemilu," kata Imam Fauzy, narasumber lain yang juga aktivis mahasiswa.
Golput juga menjadi bentuk protes terhadap dominasi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dalam politik. Menurut para aktivis 1966, tidak ada atau adanya Pemilu tidak berpengaruh karena semua kewenangan dan nasib kedepan adalah milik ABRI. Situasi ini kian memanas ketika para rombongan golput yang sedang berjalan kaki dari gedung Balai Budaya menuju Bapilu Golkar ditangkap oleh aparat. Bahkan, pemerintah saat itu memberikan ancaman lima tahun penjara bagi siapa saja yang mengajak tidak memilih pada 1971.
Hal ini berdampak pada angka golput di Pemilu tersebut. Menurut Sri Yuniarti dalam penelitiannya, angka golput di Pemilu 1971 mencapai 6,67 persen, kemudian meningkat menjadi 8,4 persen pada Pemilu 1977. Angka ini terus naik hingga Pemilu 2009, di mana angka golput untuk pileg mencapai 29,01 persen dan untuk pilpres mencapai 27,77 persen. Pada Pemilu 2014, angka golput sedikit turun menjadi 24,89 persen untuk pileg dan 30 persen untuk pilpres.
Namun, pada Pemilu 2019, angka golput kembali naik menjadi sekitar 20 persen, menurut lembaga Indikator Politik Indonesia. Angka ini didapatkan dari jumlah orang yang memilih untuk tidak datang ke TPS. Febri Andrian, narasumber ketiga yang juga aktivis mahasiswa, mengatakan bahwa golput saat ini diartikan secara lebih fleksibel, misalnya untuk menyebut orang-orang yang justru pergi liburan alih-alih datang ke TPS.
"Menurut saya, golput saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor sosial, seperti apatis, tidak percaya, atau tidak peduli terhadap politik. Banyak orang yang merasa tidak ada kandidat yang sesuai dengan harapan mereka, atau merasa bahwa suara mereka tidak akan berpengaruh. Ada juga yang menganggap Pemilu sebagai hal yang tidak penting, atau malah mengambil kesempatan untuk bersenang-senang," timpal narasumber lainnya Febri Andrian.
Febri Andrian menambahkan bahwa golput juga bisa menjadi pilihan rasional bagi sebagian orang, terutama yang tinggal di daerah terpencil atau sulit dijangkau.
"Bagi mereka, mungkin lebih baik menghabiskan waktu dan uang untuk keperluan lain daripada harus repot-repot datang ke TPS. Apalagi jika mereka merasa tidak ada manfaat langsung dari Pemilu bagi kehidupan mereka," ujarnya.
Meskipun demikian, Febri Andrian mengingatkan bahwa golput bukanlah solusi.
Penulis: Agustina