Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Setelah masa kampanye berlalu, tiba waktunya berefleksi. Mencerna, memikirkan dan merenungkan lebih dalam, tentang apa yang terbaik harus diputuskan.
Walau bentuknya hanya “mencoblos” nama atau gambar, tapi konsekuensinya tidak sederhana. Menyangkut 5 tahun yang sangat panjang, bahkan 5 tahun dengan segala tantangan dan harapan yang begitu besar.
Diberi waktu 3 hari untuk bertenang diri, yang oleh UU disebut masa tenang. Bukan lagi waktu untuk bercakap, berdebat atau pun berargumen sampai “bakancangan urat gulu”. Waktu 3 hari yang disediakan, lebih untuk merenung, berdialog dengan hati nurani, tentang siapa kita dan apa komitmen diri terhadap perbaikan bangsa, yang diwujudkan dengan memilih pemimpin.
Sekali lagi, “pemimpin adalah potret warganya”, bila pemimpinnya korup, pada dasarnya warganya juga suka korup. Bila karakter pemimpinnya buruk, tidak punya komitmen, itulah sebenarnya cermin diri mayoritas warganya. Karena itu, kalau ingin pemimpinnya baik, buatlah keputusan yang terbaik, jangan asal, jangan sembarangan, jangan tidak bertanggung jawab.
Kalau sebelumnya pilihan terpengaruh atau tergiring opini, hasil survei atau analisa pakar yang berpihak dan dibayar. Maka sekarang jadilah pribadi yang independen.
Bila sebelumnya merasa tertekan oleh perintah atasan atau intervensi orang kuat dalam bentuk uang dan sembako, kali ini murni suara dan kehendak pribadi. Manfaatkan waktu untuk benar-benar berpikir, sehingga mampu memutuskan pilihan yang terbaik.
Pada sesuatu yang serius, kebudayaan Banjar yang dikenal kuat bertutur, pun tidak ingin terlalu banyak bicara. Ada waktunya mesti efektif berkata-kata, karena menyangkut sesuatu yang penting, sering kali tidak memerlukan banyak kata.
Apalagi soal komitmen yang mewakili diri. Termasuk komitmen politik, kebudayaan Banjar mengajarkan kearifan tentang “indah tabuang pandir”. Agar setiap kata yang menjadi keputusan, tidak menjadi penyesalan dikemudian hari. (nm)