Oleh: Mohammad Effendy (Forum Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Dalam sebuah dialog interaktif pada satu stasion televisi yang melibatkan beberapa pengamat dan akademisi serta juru bicara Paslon, terangkat ke permukaan berbagai kritikan tajam berkaitan dengan banyaknya pelanggaran rambu-rambu kampanye secara kasat mata. Uraian mengenai keberpihakan Presiden, pembagian bansos yang menggunakan narasi seolah berasal dari Presiden Joko Widodo, pengarahan aparat birokrasi serta kepala desa, disuarakan dengan bahasa lugas.
Pengamat dan akademisi serta juru bicara paslon yang merasa dirugikan dengan keadaan tersebut dengan tegas mengemukakan bahwa semua uraian dimaksud merupakan tindakan kecurangan yang akan menurunkan kualitas penyelenggaraan pemilu.
Penurunan kualitas pemilu akan membawa dampak besar terhadap pembangunan demokrasi. Menanggapi semua uraian pelanggaran yang mengarah kepada kecurangan pemilu tersebut, juru bicara Paslon yang terkait dengan kritikan dimaksud memberikan respon secara normatif. Jika semua pelnggaran tersebut dianggap sebagai kecurangan pemilu, maka saluran yang tepat adalah melaporkannya kepada Bawaslu.
Berilah masyarakat pendidikan politik yang mencerahkan bahwa kita memiliki institusi pengawas yang diberi kewenangan melakukan tindakan jika ada pelanggaran dan kecurangan. Sebagai pengawal demokrasi lanjutnya, jalur hukum yang tersedia harus diberdayakan secara optimal sehingga dapat diketahui secara nyata apakah semua tuduhan dimaksud memiliki validitas pembuktian.
Sepintas tanggapan juru bicara tersebut seperti memberi edukasi kepada masyarakat luas bahwa begitulah cara kita hidup berdemokrasi. Akan tetapi jika ditelusuri secara lebih mendalam, respon juru bicara paslon tersebut justeru sangat menyesatkan. Sebab, secara substansial sistem demokrasi tidak hanya mengacu dan mendasarkan semua perilaku politik kepada aspek-aspek normatif semata.
Sistem demokrasi juga mengajarkan bahwa hukum dan etika tidak boleh di lihat sebagai sesuatu yang terpisah. Elit politik dan elit pemerintahan tidak saja harus tunduk kepada norma-norma hukum, tetapi mereka juga harus mengedepankan aspek etika sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi. Melanggar suatu kepatutan adalah perilaku yang mengoyak marwah demokrasi, dan di negara yang memiiki budaya malu yang tinggi, pelanggaran kepatutan akan menjadi alasan pengunduran diri dari jabatan politik dan jabatan publik.
Ketika hampir semua elemen masyarakat sudah mengetahui bahwa Lembaga Pengawas Pemilu berada dalam ketidak berdayaan dan aparat penegak hukum diragukan netralitasnya, maka saran agar menempuh prosedur hukum adalah sebuah fantasi.
Hukum dan etika hanya dapat ditegakkan jika semua pilar dan instrument demokrasi dapat berjalan serta berfungsi secara optimal. Sementara kita semua tahu bahwa pilar dan instrument demokrasi di negara kita masih sangat rapuh, dan juru bicara paslon itu dengan “polosnya” menyarankan kita agar berjalan di atas pilar yang rapuh itu.