Oleh: Mohammad Effendy (Forum Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Peristiwa itu sudah cukup lama terjadi, yakni ketika seorang pengusaha kaya membagi uang yang disebutnya sebagai zakat/sadaqah kepada rakyat secara terbuka di depan pintu gerbang rumahnya. Rakyat berdatangan dari berbagai penjuru sehingga depan pintu pagar rumah pengusaha tersebut penuh sesak.
Ketika uang mulai dibagikan maka terjadilah suasana berdesakan dan saling dorong yang menimbulkan beberapa orang menjadi korban cidera. Sikap pengusaha kaya tersebut mendapat kritikan tajam dari berbagai elemen masyarakat, karena di samping dapat membahayakan rakyat yang saling berdesakan, juga dianggap sebagai sikap yang kurang bermartabat karena menjadikan rakyat miskin sebagai objek tontonan.
Banyak cara lain yang lebih terhormat untuk berbuat amal antara lain dengan cara mendistribusikan zakat/sadaqah dimaksud ke titik di mana komunita masyarakat miskin bertempat tinggal.
Sekarang ini dalam tahapan kampanye untuk Pemilu 2024, kita banyak menyaksikan tayangan video yang beredar luas di medsos adanya orang-orang dengan wajah “Polos” membagikan uang atau bentuk lain kepada rakyat tanpa risih, tanpa malu, dan tanpa rasa bersalah. Mereka itu dengan senyum sinisnya menyatakan bahwa tindakan membagi uang atau bentuk bantuan lainnya itu bukan pelanggaran hukum.
Sementara itu Bawaslu yang bertugas menjaga itu semua sibuk mencari bahasa pembenaran dengan argumentasi yang tidak jelas referensinya. Mereka melupakan pesan sakral yang selalu diajarkan di kampus bahwa hukum tidak sekedar deretan kata yang berbentuk norma, tapi ia memiliki suasana kebathinan agar dalam interaksi sosial terdapat harmonisasi, penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, serta keseteraan sebagai warga negara.
Pengusaha kaya di atas yang membagikan uangnya untuk melakukan amal sosial namun dengan cara yang dianggap kurang menghargai aspek kemanusiaan telah mendapat kritikan dan sorotan tajam, apalagi terhadap orang-orang yang sengaja membagikan uang atau bantuan lain di tengah dinamika politik kampanye - seyogianya juga mendapat kritikan yang lebih lugas.
Menurut akal sehat membagi uang atau bantuan bagi rakyat yang dilakukan di tengah momen kampanye pasti memiliki tujuan politik transaksional. Norma hukum yang tertuang dalam bunyi Pasal memang dapat ditafsirkan dengan menggunakan tangan kekuasaan bahwa tindakan tersebut tidak ada pelanggaran, namun menurut etika berbangsa, bernegara, serta bermasyarakat itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan.
Suara rakyat sebagai pemilik kedaulatan digoda untuk dibeli karena diketahui bahwa sebagian besar dari mereka itu berada di bawah garis kemiskinan dan kondisi kemiskinan tersebut seperti dipelihara agar kembali dapat dimanfaatkan saat pemilu berlangsung.
Sebagai bangsa yang mengaku berbudaya, masyarakatnya sarat dengan nilai-nilai religius, tetapi perilaku dan tindakan kita ternyata jauh dari nilai-nilai tersebut.
Bangsa yang kehilangan jatidiri dan etika universal yakni ketika tidak lagi memberikan penghargaan terhadap nilai dan martabat kemanusian lambat laun akan menjadi masyarakat yang berperilaku primitif meski di tengah percaturan global yang supermodern.
Marilah kita bangun bersama kesadaran baru untuk memperjuangkan kembali tujuan menjadi bangsa yang merdeka agar nantinya dapat diberikan sebagai warisan berharga bagi anak-cucu di masa yang akan datang.