Oleh: Noorhalis Majid |
BORNEOTREND.COM - Seorang caleg bercerita, rumahnya didatangi warga, tanpa basa-basi menanyakan “adakah amplopnya?” Caleg lainnya menyampaikan, ada orang mengaku mengorganisir ratusan pemilih, lengkap dengan bukti KTP, mampu mengarahkan memilih yang mau membayar. Pasarannya minimal 250, atau harga yang lagi panas 350 ribu. Kalau uang tersedia, suara dijamin tidak lari. Demikian orang tersebut meyakinkan sang caleg.
Ada lagi yang menanyakan soal bagi-bagi bansos. Karena istana sudah dimulai pembagian bansos secara langsung, maka daerah-daerah juga menuntut hal yang sama. Kabarnya sudah ada pendataan siapa yang akan mendapatkan. Bahkan infonya sudah sangat rinci, dalam paket bansos tersebut selain sembako, juga ada uang. Dan mulai ramai warga menanyakan kapan realisasinya.
Tanpa ragu menanyakan amplop. Bahkan tanpa malu menyebut angka. Berterus terang, lugas, tanpa basa-basi, tembak langsung. Tidak ada mantik, kias, bungkus semisal perumpamaan atau penghalusan bahasa agar lebih sopan, itulah yang oleh kebudayaan Banjar disebut “kada bakukulitan”.
Kenapa semua bisa terjadi? Kenapa mampu menyampaikan hal yang sebelumnya tabu? Padahal money politics itu pelanggaran. Pelanggaran itu aib. Aib itu memalukan. Namun kenapa hilang rasa malu? Tidak ragu menanyakan langsung? Tidak sungkan menyebut angka. Seperti transaksi dagang legal “ada harga ada suara”, yang tidak ada sanksinya.
Apa yang salah? Di mana salahnya? Bagaimana cara mengembalikan segala kesalahan ini? Adakah yang bisa diselamatkan, agar demokrasi tetap bermartabat? Berpuluh pertanyaan terlontar, mana kala masih berharap demokrasi kondisinya tetap baik-baik saja.
Memang pepatah lama mengajarkan, “ikan busuk dari kepalanya”. Mungkin saja semua ini terjadi karena elit sudah memberi contoh. Bahkan istana memelopori. Inilah harga yang harus dibayar.
Segala yang semula tabu, akhirnya “kada bakukulitan”. Padahal, kulit dan bungkus acap kali menggambarkan adab dan peradaban. (nm)