Oleh: Nasrullah Bakumpai (Warga Kuripan, Dosen Prodi Pendidikan Sosiologi FKIP ULM. Sedang mengikuti tugas belajar Program Doktoral Antropologi UGM) |
BORNEOTREND.COM - Saatnya warga atau pemilih Batola memikirkan pemimpin Batola 2024-2029, yang dimulai dari persoalan-persoalan yang tengah terjadi di sekitar warga Batola saat ini.
Pernyataan ini tentu berbeda ketika sebelumnya saya menekan tombol imajiner “off” sebagai tanda tidak setuju ketika beredar polling calon Bupati Batola setahun lalu. Bagaimana tidak, polling itu tidak faham waktu, sebab semua politisi masih terkonsentrasi dalam pemilu dan pileg yang baru saja usai. Artinya pembuat polling tersebut bertindak sangat premature untuk berbicara kepemimpinan lokal.
Lebih jauh lagi, polling itu sangat patriarki silahkan baca berita Jejakrekam.com berjudul „Beredar Polling Cabup Batola 2024 di Medsos, Antropolog ULM Kritik Terlalu Prematur dan Patriarki“ yang terbit tanggal 26 Februari 2023.
Padahal jelas ada Bupati Perempuan, yakni Hajjah Noormiliyani yang menjabat bersama Rahmadiannor tahun 2017-2022. Kalau mau lebih detail, ada beberapa politisi perempuan di DPRD Batola yang meraih kelompok suara terbanyak. Atas pertimbangan itulah, sekali lagi saya ucapkan polling itu mambari supan atau sangat memalukan.
Kini hari ini tepat setahun lalu, saatnya saya menekan tombol imajiner start karena memang sudah waktunya lah memikirkan calon pemimpin Batola 2024 – 2029. Meskipun saya menyadari penghitungan hasil pemilu legislatif masih berjalan, tetapi tinggal menghitung hari lagi untuk diplenokan di KPUD Batola.
Jika ada beberapa pimpinan Parpol sudah menyampaikan ucapan terima kasih lebih awal atas pilihan suara warga Batola kepada partainya dan calon legislatifnya. Itu berarti mereka melihat secara de facto sebelum de jure berdasarkan hasil pleno KPUD Batola, maka tak salah jika artikel ini juga menghidupkan wacana lebih awal tentang pemilih yang menentukan pemimpin Batola.
Pemilih Pemimpin Batola
Saat ini yang kita jadikan subyek bukan pemimpin Batola, tetapi keberadaan warga Batola sebagai pemilih pada tahun 2024 yang akan mencoblos pada pemilihan Bupati Batola yang dijadwalkan bulan November 2024. Saya membagi pemilih secara sederhana terbagi dalam beberapa kelompok.
Pertama, kelompok rasional akan berfikir apa persoalan Batola yang harus dituntaskan atau akan muncul di masa akan datang, barulah mereka melihat kemampuan figur yang akan menjadi calon pemimpin Batola.
Kedua, bagi kelompok transaksional, mereka tidak peduli figur, person dan wacana apa saja. Mereka hanya peduli tawarannya terpenuhi oleh figur bersangkutan. Namun mereka cenderung akan berpindah ke lain hati jika berhasil mendapatkan tawaran tertinggi. Gambaran seperti ini agaknya diwakili iklan “Wani Piro?” atau kata-kata “uang dan tips” yang selalu dibicarakan Tn Krab dalam serial Spongebob.
Ketiga, kelompok emosional atau ekspresional. Mereka memilih karena pernah mengalami rasa kecewa dan senang atas ekspresi calon pemimpin tersebut. Kekecewaan mendalam bahkan kadang sepele acapkali benihnya sejak lama bisa jadi alasan untuk memilih calon lain. Lebih jauh bagi kelompok ini, gimik calon yang membuat mereka senang atau benci juga menjadi pertimbangan memilih atau menolaknya.
Keempat, kelompok personal. Begitu mereka sudah menemukan sosok yang cocok, mereka akan mengikuti itu sampai kapan pun. Mereka tidak peduli wacana, isu, ekspresi. Pokoknya sosok itu adalah panutannya dan akan dipilih nanti.
Pilihan sebagai Pemilih
Saya sebagai akademisi, tentu saja melihat pada aspek rasional yakni persoalan apa yang terjadi dan akan terjadi pada Batola akan datang. Itu menjadi timbangan saya kepada kelayakan seseorang atau figur jika akan dipilih.
Pemilih rasional berarti tidak menyerahkan cek kosong kepada calon pemimpin, melainkan memberikan panduan, arahan, atau bahkan warning kepada calon pemimpin.
Pemilih Rasional Sesungguhnya
Saya mendorong kepada kawan-kawan akademisi, aktivis dan mahasiswa sebagai 𝘱𝘶𝘣𝘭𝘪𝘤 𝘰𝘱𝘪𝘯𝘪𝘰𝘯 𝘮𝘢𝘬𝘦𝘳 atau sebagai 𝘯𝘦𝘸𝘴 𝘮𝘢𝘬𝘦𝘳 menghadirkan wacana ke-Batola-an agar menjadi pertimbangan publik khususnya pemilih.
Meskipun saya tahu hal ini agak berat, sebab otokritik saya kepada sesama akademisi yang jarang turun ke bumi untuk menghadirkan wacana berkualits di masyarakat dalam kerangka pemilihan kepala daerah.
Padahal saya tahu ada banyak teman-teman dosen yang berasal dari Batola di berbagai perguruan tinggi. Akademisi cenderung terlibat dalam debat kandidat, yang peluang memunculkan wancana akademis yang sangat lemah sebab pemilih sudah kuat dalam kelompok transaksional, emosional maupun individual.
Di sisi lain, aktivis sibuk dengan agenda masing-masing, dan apalagi mahasiswa sibuk belajar, membaca buku di perpustakaan, berkutat dengan makalah ilmiah, atau mengerjakan tugas-tugas dari dosen. Kalaupun pernyataan saya itu agak berlebihan, mungkin saja mahasiswa masih sibuk bermain game on line di smartphone hingga dikejar dosen untuk menyelesaikan tugas akhir yang belum tuntas.
Polling yang Mencerdaskan
Kembali kepada polling di bagian awal. Masyarakat Batola cenderung akan mendapatkan pemimpin yang berkualitas jika polling yang muncul bukan siapa yang popular dan memiliki elektabilitas yang tinggi. Awali polling ini dengan mengangkat isu apa yang tengah menjadi penderitaan warga sebagai gajah di pelupuk mata.
Mungkin saja isu itu soal jalan yang rusak atau jembatan roboh yang tak terbenahi, sulitnya mendapatkan pekerjaan, penyebaran narkoba, bangunan sekolah banyak yang roboh, panen padi yang sering gagal atau kelangkaan pupuk. Persoalan lain misalnya. Konflik tak berkesudahan dengan perusahaan sawit baik soal penyerobotan tanah, koperasi, pencemaran air, dan sebagainya. Bisa juga debu perusahaan tambang batu bara yang memenuhi rongga paru-paru, atau kibasan ekor tongkang bara yang setiap saat mengancam ketenangan warga.
Lalu di kalangan mahasiswa, bukalah mata, misalnya begitu sulitnya mendapatkan beasiswa dari pemerintah daerah, asrama mahasiswa dari Batola di berbagai kota tak layak huni, bahkan tak ada atau menyewa saja dari tahun ke tahun. Kalangan mahasiswa harus melihat persoalan seperti ini baik untuk dirinya sendiri. Sebab dengan mahasiswa menjadi sarjana, berarti tingkat pendidikan warga Barito Kuala akan semakin naik.
Oleh karena itu support pemerintah daerah sangat diperlukan dengan cerdas melihat keperluan mahasiwa misalnya jangan sampai bantuan tesis untuk mahasiswa S2 lebih rendah dari mahasiswa S1. Ini sungguh tidak masuk diakal.
Pada akhirnya jika isu persoalan di Batola tersebut dapat menjadi wacana publik, otomatis ketika polling lanjutan yang menampilkan figur, maka peserta polling akan melihat kepada realitas di masyarakat bukan melihat kepada semut di seberang lautan.
Bagian akhir, penekanan saya untuk mendapatkan pemimpin berkualitas, maka wacana terkait persoalan masyarakat Batola tersebut harus mendahului sebelum kehadiran figur.