Oleh: Mohammad Effendy (Forum Ambil Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Ketika masyarakat sedang fokus mengamati informasi tentang perkembangan perolehan suara parpol peserta Pemilu 2024 untuk mengetahui berapa jumlah parpol yang lolos parliamentary threshold (PT) yang besarannya 4 % (empat persen), tiba-tiba muncul berita mengejutkan keluarnya Putusan MK yang membatalkan ambang batas tersebut. Berita yang beredar luas di masyarakat tersebut terkadang tanpa disertai penjelasan kapan ketentuan dimaksud akan diberlakukan.
Putusan MK tersebut tertuang dalam Perkara No. 116/PUU-XXI/2023 dan dibacakan dalam sidang tanggal 29 Februari 2024, permohonan uji materi diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Isi Putusan menyatakan bahwa ambang batas PT sebesar 4 % (empat persen) tidak sesuai dengan kedaulatan rakyat sehingga harus dilakukan perubahan. Selanjutnya MK menyatakan bahwa syarat PT 4 % tetap berlaku untuk Pemilu DPR Tahun 2024 dan bersifat konstitusional bersyarat untuk Pemilu Tahun 2029.
Dasar pemikiran awal penerapan aturan tentang PT tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan untuk membatasi jumlah partai secara konstitusional. Kondisi geografis dan karakteristik bangsa kita yang sangat majemuk serta aspek historis yang kita miliki, maka disepakati bahwa yang ideal untuk bangsa kita adalahg sistem multi partai. Akan tetapi agar jumlah partai tidak terlalu banyak maka politik hukum yang dikembangkan adalah membangun sistem multipartai sederhana.
Pembatasan jumlah parpol melalui mekanisme PT waktu itu dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi, karena ukuran yang dipergunakan adalah jumlah dukungan rakyat dalam pemilu. Angka persentasi untuk PT dalam perkembangan pemilu sejak reformasi mengalami turun naik, dan terakhir ditetapkan sebesar 4 %. Nominal 4 % inipun dalam pertimbangan hukum MK dalam Putusan terbarunya dianggap tidak sesuai dengan asas kedaulatan rakyat.
Pemberlakuan PT sebenarnya sudah dimodifikasi secara arif oleh MK, yakni hanya untuk pengisian kursi DPR RI. Sementara untuk pengisian kursi DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, PT tidak diterapkan. Pertimbanganya antara lain agar dapat mengurangi suara rakyat yang hilang, serta mengakomudasi aspirasi masyarakat lokal untuk lembaga perwakilan di daerah.
Namun demikian, jika kita konsisten ingin membangun sistem multipartai sederhana, maka penerapan PT sebaiknya tetap dipertahankan, meski dengan persentasi yang objektif-rasional. Akan tetapi sebagai upaya menjaga keseimbangan, maka sistem kepartaian yang selama ini bersifat terbuka sebaiknya diubah menjadi sistem partai tertutup.
Sistem tertutup maksudnya adalah setiap Parpol memiliki identitas yang spesifik dan khas, sehingga visi dan misinya yang akan diperjuangkan memiliki arah yang jelas. Meski bersifat tertutup namun tetap diberikan rambu-rambu yakni masih dalam bingkai Pancasila dan ikatan NKRI. Sistem partai tertutup juga diharapkan dapat mengurangi berdirinya parpol baru yang tidak memiliki basis pendukung sesuai dengan identitas partai yang bersangkutan.
Selain itu sistem partai tertutup diharapkan juga dapat mengurangi secara bertahap praktek transaksional dalam pemiliu. Sebab, anggota dan pendukung parpol dimaksud sudah memiliiki sagmen dan komunitas sendiri. Anggota serta masyarakat luas yang merasa memiliki ikatan emosional dengan ciri dan identitas parpol tersebut secara sukarela akan memberikan dukugannya.
Sejarah kepartaian kita memberikan jejak napak tilas yang sangat nyata, yakni ketika suatu Partai memikiki identitas yang spesifik, maka rasa memiliki anggota terhadap partainya begitu kuat. Kita mengenal Partai Masyumi, Partai NU, PNI, dan juga Partai Komunis sekedar memberikan contoh, masing-masing memiliki pendukung fanatik. Mereka benar-benar berjuang untuk membesarkan partai yang didukungnya.
Sekarang ini, partai politik hanya dijadikan kenderaan untuk mereka yang memiliki modal besar agar dapat meraih kekuasaan. Setelah itu menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk menggapai semuanya, termasuk merusak sendi-sendi demokrasi – melupakan pesan suci para pendiri bangsa.