WAWANCARA: Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani - Foto Dok Nett |
BORNEOTREND.COM, JAKARTA- Menyikapi rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 menjadi 12 persen pada 2025, direspons negatif kalangan pengusaha.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menyebut, kenaikan PPN 12 persen pada tahun, jelas berdampak kepada turunnya daya beli. Kalau benar terjadi, kalangan pengusaha juga yang kena.
Dia bilang, akan berimplikasi pada semakin menurunnya penjualan produk-produk industri, karena pembelinya makin sedikit.
"Dengan besarnya kelompok informal di Indonesia, ini yang agak sulit. Maka, bagaimana caranya mereka bisa masuk ke formal supaya bayar pajak, sebetulnya kuncinya di situ, karena kenaikan PPN ini cuma pengalihan ke konsumen," kata Shinta, Sabtu (16/3/2024) lalu.
Dia pun menyarankan pemerintah agar fokus memburu perusahaan informal yang belum membayar pajak, ketimbang menaikkan tarif PPN.
"Jadi sebetulnya target yang sebenarnya pemerintah harus lakukan ekstensifikasi, itu menambah jumlah base pembayar pajak," tambahnya.
Dirinya juga mengatakan, kebijakan ekstensifikasi atau perluasan cakupan wajib pajak harus dilakukan saat ini karena perusahaan informal masih sangat banyak. Akibatnya, mereka tak tercakup ke dalam perusahaan yang harus membayar pajak.
Meski begitu, dirinya juga mengakui, kenaikan PPN itu sudah menjadi amanat Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% mulai berlaku pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.
Kendati begitu, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan maksimal 15% melalui penerbitan peraturan pemerintah atau PP setelah dilakukan pembahasan dengan DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN.
"Cuma dengan kondisi sekarang ini memang pasti akan berdampak ke daya beli, karena itu kan basic-nya nanti kenaikan PPN kan, ini kan ke konsumen, jadi akan pengaruh ke daya beli konsumen," timpalnya lagi.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui betapa sulitnya, menaikkan rasio pajak di Indonesia. Sejauh ini, Indonesia sangat tertinggal ketimbang negara-negara tetangga, seperti Thailand dan Filipina.
Alasannya, sebanyak 47 persen sektor ekonomi tak masuk sebagai wajib pajak, termasuk industri informal. Rasio pajak tercatat turun ke posisi 10,21% dari PDB pada 2023. Sebelumnya, rasio pajak tercatat mencapai 10,39% pada 2022. Angka tersebut naik 9,12% pada 2021.
"Kita tahu Indonesia masih kesulitan untuk meningkatkan tax ratio (rasio pajak)," jelasnya.
Dia menekankan, letak permasalahan peningkatan tax ratio di Indonesia ada pada basis perpajakan. Sebanyak 47% perekonomian di Indonesia yang tidak masuk dalam basis perpajakan di Indonesia. Alhasil, Indonesia hanya mengandalkan 53% dari basis pajak.
"Intinya dari pengumpulan atau penagihan pajak, kita hanya mengandalkan 53 persen. Ini terjadi bukan saja karena banyak ekonomi informal di Indonesia, tapi juga banyak pengecualian perpajakan di mana kegiatan-kegiatan ekonomi masih belum dikenakan pajak, yang diatur dalam kebijakan dan regulasi. Ini juga terjadi karena kami memberikan sejumlah insentif," tukasnya.
Sumber: Inilah.com