Oleh: Mohammad Effendy (Forum Ambil Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Ramai pembicaraan warga masyarakat di warung kopi sekitar terjadinya lonjakan transaksi menjelang rekapitulasi penghitungan suara di tingkat Kecamatan dan terus ke Kabupaten. Beberapa caleg baik untuk DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, serta DPR RI yang namanya di awal penghitungan suara berada di zona tidak aman, tiba-tiba muncul di ranking “terpilih”.
Perubahan posisi tersebut diduga kuat karena adanya pasukan khusus yang bergeriliya untuk membeli “barang” yang tidak terpakai, mengambil “barang” yang tidak dijaga pemiliknya, dan/atau adanya kesepahaman secara diam-diam di tingkat atas agar dilakukan pemindahan “barang” dan kesepahaman tersebut sepertinya tidak mungkin dapat dibantah.
Mengapa di pasar bursa pemilu yang begitu ramai pengunjung dan dipasang banyak “CCTV” dapat terjadi kejadian di atas? Seorang warga dengan penuh semangat bercerita bahwa pasar bursa pemilu kali ini memang benar-benar brutal. Norma-norma pemilu tidak berlaku di lapangan, dan pihak yang terlibat di dalamnya telah kehilangan etika serta nilai-nilai moralitasnya.
Pemilu transaksional yang kita pahami selama ini adalah pembelian suara masyarakat secara tunai baik melalui perantara tim sukses maupun dari pintu ke pintu. Akan tetapi ternyata pada Pemilu sekarang makna transaksional kian meluas. Politisi yang ingin meraih kursi legislatif tidak saja harus menyiapkan dana untuk membeli suara masyarakat, tetapi juga perlu biaya ekstra untuk menjaga agar suara yang didapatnya tidak dicuri orang.
Sekiranya suara yang diperolehnya berdasarkan data yang ada dianggap tidak mencukupi, maka upaya yang harus dilakukan adalah dengan cara membeli suara rekannya yang tidak terpakai. Bahkan, jika dirasakan masih belum aman, maka langkah brutal berikutnya adalah mengambil paksa suara pesaingnya.
Kondisi pemilu transaksional seperti itu telah mengubah komposisi tim sukses yang tadinya hanya melibatkan orang dekatnya, sekarang ini terpaksa harus merekrut pihak lain. Lapisan tim sukses pihak lain dimaksud antara lain “jajaran penyelenggara pemilu” dan/atau “jajaran pengamanan pemilu”. Tim sukses caleg yang hanya terdiri atas orang-orang dekat semata tidak mungkin dapat masuk dalam pasar bursa pemilu.
Nilai uang yang beredar di pasar bursa pemilu sekarang ini benar-benar meroket secara fantastik, karena biaya untuk jasa para pialang makin tinggi. Tanpa melibatkan para pialang tersebut, keinginan untuk menjadi caleg terpilih sulit diraih. Oleh karena itu caleg yang hanya berjuang dengan modal popularitas nama dan ditambah sedikit permohonan “doa” kepada tokoh agama, sebaiknya bikin kursi sendiri saja – jangan berharap kursi di parlemen.
Kekacauan pemilu sekarang ini tentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh skenario Pilpres yang melibatkan petinggi negara. Campur tangan Presiden Joko Widodo dalam Pilpres menyebabkan aparat yang tadinya bersikap netral ikut cawe-cawe dalam pemilu legislatif. Forum Gakkumdu tidak lagi merasa penting untuk menjadwalkan rapat dalam upaya melakukan kajian pelanggaran norma pemilui, karena tidak ada kejelasan siapa yang melapor dan siapa yang dilaporkan.
Inikah kondisi yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya yang sangat populer “How Democracies Die” yang menggambarkan ciri-ciri matinya demokrasi. Sementara ciri dan indikasi tersebut terlihat secara nyata dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
Apakah itu berarti demokrasi kita sedang sakit parah dan sedang menuju kematian?