Oleh: Mohammad Effendy (Forum Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Dunia politik adalah arena untuk meraih kekuasaan dengan cara yang beradab serta bermartabat. Salah satu sarana untuk meraih kekuasaan melalui jalur politik adalah ikut berkontestasi memperebutkan suara pemilih lewat pemilu.
Setidaknya ada 2 model dalam proses kontestasi melalui jalur pemilu. Pertama, melalui partai politik yang secara institusional sebagai peserta dalam penyelenggaraan pemilu. Kedua, jalur perseorangan di mana seseorang berjuang secara mandiri untuk meraih dukungan pemilih.
Aturan dalam pemilu kita membuka peluang untuk mengikuti jalur perseorangan dalam rangka memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan untuk ikut kontestasi dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Sementara untuk meraih tiket kursi DPR harus melalui institusi partai politik, meski perjuangan secara mandiri tetap diperlukan karena pemilu kita menggunakan sistem proporsional terbuka.
Dalam konsep demokrasi, arena politik adalah wadah perjuangan untuk melaksanakan gagasan besar baik terkait dengan ideologi maupun visi dan misi partai politik yang bersifat spesifik. Di negara yang menggunakan sistem partai politik tertutup, maka perjuangan terkait ideologis menjadi ciri khas untuk meraih dukungan publik. Sementara di negara yang sistem kepartaiannya bersifat terbuka, maka tawaran yang digagas adalah kebijakan publik yang akan dilakukan jika mereka memperoleh mandat kekuasaan.
Praktek yang terjadi di negara kita, meski mengklaim sebagai negara demokrasi namun arah politik yang akan dibangun belum memiliki format yang jelas. Politisi kita baik yang tergabung dalam institusi parpol maupun figur perseorangan tidak pernah menganggap visi, misi serta program yang akan dilakukan sebagai hal yang penting. Kalaupun visi, misi serta program disiapkan secara tertulis, namun semuanya hanya pelengkap dokumen yang tidak pernah dibaca, dihayati, serta dipahami secara serius.
Pertanyaan yang muncul adalah; jika mereka nanti terpilih terutama untuk mengisi kursi lembaga legislatif, apa yang akan mereka lakukan? Berdasarkan hasil pengamatan selama ini, para legislator kita lebih banyak memperjuangkan diri mereka dan partai mereka sendiri, sementara kepentingan masyararakat luas sudah terlupakan. Mereka menganggap kepentingan masyarakat sudah tidak ada lagi dan/atau sudah mereka penuhi saat transaksi suara selesai dilakukan.
Kondisi bangsa kita seperti inilah yang membuat muncul keraguan apakah berjuang melalui jalur politik masih efektif untuk dilakukan terutama bagi mereka yang masih menyisakan idealisme untuk membangun negeri ini ke depan. Selain itu ada fakta lain yang juga mengemuka, bahwa mereka yang tadinya memiliki idealisme untuk memperbaiki keadaan yang kian memburuk, setelah masuk dalam lingkaran kekuasaan ternyata tidak dapat berbuat banyak.
Ketidakberdayaan mereka tersebut baik karena lingkaran kekuasaan memiliki sistemnya sendiri yang sulit diterobos untuk dilakukan perubahan, maupun secara tidak sadar mereka itu telah tersandera sehingga terpaksa harus merelakan kehilangan jati dirinya. Akan tetapi seburuk apapun dunia politik yang melanda bangsa kita ini, arena politik tetap harus digunakan secara optimal untuk melakukan perubahan serta perbaikan. Sebab, ini adalah jalan konstitusional yang tersedia.
Oleh karena itu makna perjuangan politik harus kita perluas agar tidak semata-mata hanya masuk dalam lingkaran partai politik dan meraih kursi di lembaga perwakilan. Program penyadaran melalui pendidikan politik terutama untuk generasi milenial adalah bagian dari kegiatan prioritas yang harus dilakukan. Memperkuat dan membangun jaringan civil society juga perlu terus diupayakan secara serius dengan menghilangkan saling curiga satu sama lain.
Marilah kita terus berjuang bersama, dan jangan berpikir semua itu akan kita nikmati sekarang, tetapi inilah investasi yang dapat kita lakukan agar menjadi warisan bagi generasi berikutnya. Biarkan mereka yang menjadi lapisan berikutnya menulis tentang kita dengan rasa bangga.