Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Kebudayaan memproduksi persepsi, imajinasi, mimpi dan harapan. Segala hal dapat dipersepsi dan diberi makna. Pembangun persepsi paling efektif adalah kekuasaan. Bila kekuasaan menginginkan persepsi tertentu, maka jadilah sebagaimana yang dikehendakinya.
Pun terhadap warna, dapat dibangun persepsi sedemikian rupa, hingga melekatlah persepsi, makna dan bahkan tafsir terhadap suatu warna. Padahal sesungguhnya ia netral, bebas nilai.
Merah misalnya, suatu waktu dipersepsi sebagai “berani”, karena ada kebutuhan membangkitkan keberanian yang berkobar-kobar tanpa boleh menyerah, sebab ia simbol sangsaka, bendera pemersatu bangsa.
Belakangan merah dipersepsi sebagai tidak beradab, hukuman atas sanksi yang sangat berat, serta gambaran buruknya prestasi.
Jangan tulis surat dengan tinta merah, karena itu berarti kelancangan, tidak beradab. Terkecuali surat tersebut memang berisi ekspresi kemarahan, maka bolehlah ditulis dengan tinta merah. Bila sebaliknya, berisi kesejukan, ajakan atau permohonan, sangat keliru menulisnya dengan tinta merah.
Bagaimana pun sportifnya permainan olahraga, jangan sampai mendapatkan kartu merah. Sebab berarti hukuman, mesti keluar arena pertandingan, bahkan tidak dapat mengikuti pertandingan berikutnya.
Bila ingin menjadi pelajar yang baik lagi berprestasi, raport sebagai hasil penilaian belajar jangan sampai merah, karena itu bermakna tidak lulus. Apalagi menyangkut mata pelajaran mendasar lagi penting, bila beroleh angka merah artinya gagal ke tahap berikutnya, harus mengulang di kelas yang sama.
Merah yang terlanjur dipersepsi seperti itu, dengan sangat mudah distigma menjadi musuh bersama yang harus dikalahkan. Bahkan dengan gampang dipojokkan menjadi kelompok terlarang semacam “hantu” yang harus dimusnahkan.
Mungkinkah membangun persepsi baru tentang merah yang “oposisi”. Sebab ada kebutuhan keseimbangan dan kontrol yang harus diwujudkan.
Bila “merah” mampu mengembalikan keberaniannya yang lama terkubur, tentu saja “oposisi” bukan hal yang sulit. Justru membuatnya semakin kokoh dan disegani. (nm)