Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Bermunculan bakal calon independen maju Pilkada, padahal syaratnya tidak mudah. Setidaknya harus mendapat dukungan 10% dari jumlah penduduk, dengan sebaran lebih dari 50% jumlah wilayah.
Bisa dibayangkan, bila tiap dukungan yang dibuktikan dengan fotokopi KTP dan surat dukungan harus berbayar, mesti disediakan jumlah uang yang tidak sedikit, dan perlu kerja keras mengorganisirnya.
Pertanyaan mendasar yang muncul, kenapa mesti calon independen, ada apa dengan parpol?
Ternyata bila persoalannya “berbayar”, mendapat dukungan dari parpol, pun tidak mudah dan tidak murah. Selain harus bersaing dengan calon lain yang berasal dari internal parpol, tiap kursi juga ada “maharnya”, sebab belum ada makan siang gratis. Semuanya harus berbayar, melalui proses yang tidak mudah, dan memang sengaja dibuat tidak mudah.
Kabar burung menyebutkan, Pilkada kali ini bandrol “maharnya” mencapai 500 juta perkursi. Bila membutuhkan dukungan 7 kursi, setidaknya perlu dana 3,5 milyar. Itu baru “mahar”, belum dana kampanye dan alat peraga, dana saksi, dana mengawal hasil, hingga dana berperkara sengketa hasil. Setidaknya memerlukan lebih dari 30 milyar dana yang harus disiapkan.
Dari pada habis membayar “mahar”, dana yang besar tersebut bagi calon independen, lebih baik dimanfaatkan untuk mengumpulkan fotokopi KTP, dan ketika itu pula konsolidasi serta kampanye sudah sekali jalan bisa dilakukan.
Maka, sebelum pertarungan Pilkada berlangsung di bilik suara. Pertarungan paling awal yang sekarang sedang terjadi, adalah perlombaan memenuhi syarat, antara calon yang diusung Parpol versus independen.
Di parpol sedang terjadi tarik ulur dan tawar menawar antar koalisi parpol dengan segala jumlah “maharnya”. Sedangkan jalur independen berjibaku dari pintu ke pintu, mengumpulkan surat dukungan dan fotokopi KTP
Begitu sibuknya, lupa merumuskan kriteria calon seperti apa yang dibutuhkan warga? (nm)