Oleh: Mohammad Effendy |
BORNEOTREND.COM - Tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) telah dimulai, dan sesuai rencana yang telah dicanangkan puncak pemungutan suara akan berlangsung di bulan November 2024. Figur calon kepala daerah dan juga calon wakil kepala daerah telah bermunculan baik secara berpasangan maupun sendiri-sendiri.
Para tokoh yang berkeinginan untuk ikut dalam kontestasi ada yang namanya sudah lama bergaung baik di media cetak. elektronik, maupun media sosial, namun ada juga yang baru muncul dalam pemberitaan.
Sebagian dari kandidat kepala daerah maupun wakil kepala daerah memang telah menyiapkan diri secara serius baik dalam bentuk membangun jaringan, melakukan loby politik, maupun menyebarkan aneka alat peraga di berbagai tempat. Akan tetapi sebagian lagi terkesan hanya bermodal kepercayaan diri yang tinggi untuk berencana ikut bertarung di panggung Pilkada sambil menunggu tawaran untuk bergabung dari kandidat lain.
Momentum Pilkada yang waktunya berdempetan dengan penyelenggaraan pemilu nasional (Pileg dan Pilpres) di satu pihak memberi keuntungan bagi sebagian parpol karena mereka memiliki data awal yang valid mengenai kekuatan dukungan masyarakat, akan tetapi di pihak lain penyelenggaraan pemilu tanpa jeda waktu yang lama dapat pula memunculkan dampak negatif.
Sebagaimana telah diketahui bersama, pemilu 2024 telah menoreh luka yang sangat menyakitkan bagi pejuang demokrasi. Terjadinya kecurangan yang telanjang dan pelanggaran etika bernegara yang begitu massif oleh banyak pihak termasuk institusi penyelenggara pemilu tanpa adanya sanksi dikhawatirkan akan terulang di Pilkada.
Kekhawatiran tersebut kian menguat ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan dalam sengketa Pilpres yang menyatakan bahwa kecurangan dan pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilu tidak terbukti secara hukum. Sementara semua eleman masyarakat dari level yang paling bawah sampai dengan mereka yang terdidik mengetahui secara nyata dan jelas bahwa kecurangan dan pelanggaran etika benar-benar terjadi di lapangan.
Benarkah hukum harus menutup mata terhadap fakta lapangan, dan hanya menerima bukti yang dianggap valid jika dikemukakan sesuai dengan teori pembuktian. Mereka yang pernah belajar hukum mengetahui bahwa orang yang fanatik dengan aliran legalistik atau positivisme sekalipun, tetap mengakui bahwa fakta lapangan yang menjadi pengetahuan mayoritas orang, dapat dipertimbangkan sebagai bukti di persidangan.
Jika hukum sudah tidak berdaya lagi bahkan di lembaga yang sangat terhormat yakni Mahkamah Konstitusi, maka masyarakat, peserta pilkada, dan juga penyelenggaranya (KPU-BAWASLU), akan tergoda lagi untuk mengulang perilaku seperti di Pileg dan Pilpres.
Akan tetapi penting untuk dikemukakan bahwa ada perbedaan signifikan dalam pendekataran politik antara pemilu nasional dengan Pilkada. Pemilu nasional terutama Pilpres terkait dengan kepentingan pihak-pihak yang tidak saja bersifat domestik tetapi juga dengan jaringan global. Mereka mengerahkan semua kekuatan politik, pendanaan, serta kekuasaan untuk mencapai target dan tujuan yang telah didesain secara matang.
Sementara Pilkada gaungnya hanya bersifat lokal, dan konflik kepentingannya relatif terbatas, sehingga jika tidak hati-hati dalam menghadapi godaan untuk melakukan kecurangan sebagaimana perilaku pada saat pemilu nasional, maka akan ada yang menjadi korban dan/atau dikorbankan. Tidak ada lagi jaminan keamanan bagi pelaku kecurangan terutama kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematik, dan massif.
Selain itu mereka yang terlbat dalam Pilkada baik parpol, pasangan calon, serta tim sukses telah saling mengenal satu sama lain, serta memiliki jurus kecurangan yang sama, sehingga jika itu kembali dilakukan maka sangat rawan terjadinya konflik horizontal. Oleh karena itu demi kebaikan dan kemaslahatan bersama, ikutilah jalan lurus seperti yang dibisikan oleh suara nurani yang bersemayam di kalbu kita.