Oleh Nasrullah (Penulis Alumni Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin angkatan 1997) |
BORNEOTREND.COM - Baliho di tepi jalan utama Kabupaten Barito Kuala ada yang terkesan tidak lazim dan perlu dikritisi. Oleh karena itu, tokoh bersama teks di dalam baliho tidak hanya dilihat sebagai upaya mengikuti kontestasi elektoral yakni pilkada Barito Kuala tahun 2024, idealnya juga menyangkut pesan melalui teks dan gambar tersebut. Jelas ini bukan nanti yang ditujukan kepada siapa akan menjadi calon atau bahkan gagal mengikuti pilkada Barito Kuala, tetapi ini persoalan citra daerah yang diproduksi oleh teks dan gambar tokoh sejak baliho berdiri di tepi jalan.
Saya mempertanyakan mengapa teks tersebut dipilih dalam baliho sebagaimana terlihat di bundaran jembatan Rumpiang dan perempatan jalan Trans Kalimatan, kawasan Handil Bakti. Selanjutnya apakah kondisi kabupaten Barito sedang darurat keagamaan sehingga dalam baliho bertulis dalam huruf kapital “BERSAMA HASAN ISMAIL, BATOLA KITA BIKIN AGAMIS DAN ROMANTIS”?
Pertanyaan tersebut penting dihadirkan, sebab tanpa penjelasan yang rasional beserta data dari pemilik teks dan gambar, terutama pada kata … bikin agamis… akan mengundang orang berpikir secara binari oposisi dengan pertanyaan apakah Batola belum agamis atau tidak agamis atau pra-agamis sehingga ada upaya untuk menjadikan Batola agamis.
Oleh karena itu, teks berupa kalimat atau kata-kata tersebut harus dikritisi. Dalam ilmu sosial, mengkritisi teks bahkan gambar dilakukan misalnya dengan analisa isi (content analysis), analisa kritik wacana (critical discourse analysis), strukturalisme Levi‘ Strauss, dan lain sebagainya. Untuk itu, secara obyektif saya membagi artikel ini dalam struktur kalimat dan konteks.
Menguji Teks …Batola Kita Bikin Agamis…
Secara struktur kalimat terdapat empat bagian penting yang paling mendasar. Pertama, subyek yang dihadirkan yakni kita sebagai orang pertama jamak. Kedua, predikat bikin sebagai kata kerja. Ketiga, obyek adalah Batola akronim dari Barito Kuala sebuah kabupaten di Kalimantan Selatan. Keempat, kata-kata keterangan agamis dan romantis dan yang diletakkan di awal kalimat adalah bersama Hasan Ismail atau menggunakan keterangan orang ketiga tunggal.
Maka untuk lebih fokus saya membatasi pembahasan pada kata keterangan agamis yang dalam KBBI VI Daring secara etimologis adalah kata sifat dari agamais, kemudian dari agamawi sebagai bentuk tidak baku agamanis yang berarti bersifat agama. Agama sendiri dalam KBBI VI Daring tersebut adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya. Mengacu pada etimologi ini saja, untuk …Batola kita bikin agamis… ini sebenarnya adalah misi yang mustahil.
Jika menggunakan orang ketiga tunggal dalam kata keterangan agaknya mengacu nama dan foto yang terdapat dalam baliho, sedangkan subyek kita mengacu pada ajakan untuk melibatkan pembaca baliho. Apalagi kata bersama menunjukkan upaya membangun aliansi antara subyek orang pertama jamak dan orang ketiga tunggal dalam kata keterangan. Pertanyaannya, maukah pembaca menjadi bagian dari kita untuk merealisasikan Batola kita bikin Agamis? Bagi pembaca yang kritis, tentu akan menjawab menggunakan bahasa gaul “kita? Loe aja kali”.
Pertanyaan berikutnya adalah siapakah yang memproduksi teks tersebut, sedangkan dalam rangkaian kalimat menggunakan huruf kapital tidak mencantumkan sumber. Sehingga ada dua kemungkinan, pertama sumber itu adalah anonim, bahkan terlebih jika ditelusuri tidak ada instansi atau organisasi yang menjadi bagian dari teks tersebut. Kedua, boleh jadi mengacu pada bagian terdekat dalam baliho itu sendiri. Perhatian akan tertuju pada gambar tokoh sekaligus pada nama dengan gelar Dr.Apt untuk pendidikan S3, gelar MM untuk pendidikan S2 dan gelar S Far untuk pendidikan S1. Jika demikian, menyusul satu pertanyaan lagi apakah misi …bikin agamis… paralel diemban tokoh dalam gambar dan teks beserta latar belakang keilmuan yang dimilikinya?
Menguji “…bikin agamis…” secara Kontekstual
Secara kontekstual saya akan melihat pada tiga hal. Pertama, kalimat yang digunakan berasal dari bait lagu yang tengah populer saat ini berjudul Kita Bikin Romantis oleh MALIQ & D'Essentials. Lagu ini telah ditonton menuju angka 12,5 juta kali sejak tayang perdana pada 8 Mar 2024 pada channel youtube yang juga bernama MALIQ & D'Essentials. Bait lagu tersebut terutama frasa kita bikin romantis yang diulang sebanyak 13 kali yang agaknya menjadi inspirasi untuk ditampilkan dalam baliho. Maka ketika lirik asli bercampur kata-kata seperti bersama, nama tokoh, Batola, agamis, dan maka tak ayal lagi teks baliho itu merupakan assembling atau dirakit untuk kepentingan tertentu di Kabupaten Barito Kuala. Namun kritik saya, jika assembling teks dalam baliho tersebut tanpa memperhatikan konteks Barito Kuala yang sangat berbeda dengan kontek lagu Kita Bikin Romantis, maka teks baliho kehilangan makna atau kontraproduktif dan hanya untuk popularitas belaka.
Kedua, jika melihat keagamaan di Barito Kuala melalui angka statistis sebagaimana Kabupaten Barito Kuala dalam Angka 2024 menunjukkan penduduk yang Islam sebanyak 321.121 jiwa, penganut Protestan 1.292 jiwa, penganut Katolik 658 jiwa, penganut Hindu 1.370 jiwa, penganut Budha 61 jiwa, dan tanpa ada penganut lainnya. Jika dikembalikan kepada …Batola kita bikin agamis… kata-kata itu cenderung ditujukan atau dirasakan oleh umat Islam di Barito Kuala sebagai penduduk mayoritas.
Padahal secara antropologis, sepanjang pengetahuan penulis, tidak ada klasifikasi masyarakat Islam di kabupaten Barito Kuala, semisal golongan abangan dalam tesis Geertz di Mojokoto. Meskipun dalam istilah Bakumpai terdapat istilah Islam Buak atau semacam Islam KTP, tetapi istilah ini hanya diucapkan pada masa lalu saja dan tidak berlaku di Barito Kuala.
Sementara itu, layanan untuk umat Islam beribadah di Barito Kuala terdapat 257 masjid, dan 788 musholla. Sampai pada jumlah sarana ibadah ini, saya mengajukan satu simulasi, anda berdiri di bawah baliho yang bertuliskan BERSAMA HASAN ISMAIL, BATOLA KITA BIKIN AGAMIS DAN ROMANTIS. Kemudian buka google map, ketik masjid terdekat maka lihatlah berapa jumlah masjid dan musholla dalam radius 1-3 km yang bisa ditemukan.
Selanjutnya, bagi pendidikan umat Islam di bawah naungan kementerian Agama di Barito Kuala tahun 2023/2024 tingkat Raudhatul Athfal terdapat 27 sekolah, 123 guru, 970 murid. Lalu tingkat Madrasyah Ibtidaiyah baik negeri dan swasta terdapat total 55 sekolah, 542 guru, 4.963 murid. Kemudian tingkat Mts Negeri dan swasta, ada 43 sekolah, 575 guru, 5.345 murid. Setelah itu, tingkat Madrasyah Aliyah terdapat 26 sekolah, 426 guru dan 3.131 jiwa.
Secara budaya keislaman, penulis melihat dalam penyusunan Pokok-Pokok Kebudayaan Daerah Barito Kuala tahun 2019 mendapati 291 grup maulid Habsy dan 9.892 anggota. Lalu 14 Grup Burdah dengan 590 anggota, 37 grup hadrah dengan 1.659 anggota, lalu 39 grup rebana dengan 1026 anggota. Jumlah tersebut hanya yang terdata saja, dan belum lagi jumlah real serta perkembangannya pada tahun 2024 sekarang.
Selain itu, tidak bisa diabaikan pengajian agama oleh para Tuan Guru yang dilaksanakan secara rutin dengan jumlah Jemaah mencapai puluhan ribu orang, atau pun pengajian agama yang para Guru atau Penceramah datang atau diundang ke desa-desa di pelosok Barito Kuala. Apalagi perayaan maulid nabi Muhammad SAW rutin dilakukan di ibukota kabupaten Barito Kuala, ibukota-ibukota kecamatan hingga dari desa ke desa atau dilaksanakan secara pribadi di rumah warga.
Kebalikannya, penulis sebagai warga Barito Kuala dengan pergaulan yang terbatas teurtama dari daerah Handil Bakti hingga kecamatan Kuripan, serta pantauan penulis melalui pemberitaan hingga grup WhatApps level Barito Kuala tidak ditemukan persoalan agama yang meresahkan di Barito Kuala. Tidak ada aliran atau ajaran sempalan di Barito Kuala hingga misalnya MUI Barito Kuala mengeluarkan fatwa sesat dan menyesatkan.
Ketiga, guna melengkapi artikel ini terutama tentang kajian keislaman Barito Kuala alangkah baiknya sebelum menulis teks dalam baliho berkenaan isu keagamaan Barito Kuala agar menelaah (1) buku Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar karya Alfani Daud; (2) Jauh sebelum kabupaten Barito Kuala berdiri terbit buku berjudul Borneo: Beschrijving Van Het Stroomgebied Van Den Barito En Reizen Langs Eenige Voorname Rivieren Van Het Zuid-Oostelijk Gedeelte Van Dat Eiland karya CALM ditulis Schwaner (1853) menunjukkan perkembangan Islam di Bakumpai yang begitu progressif tahun 1688.
Jumlah yang disebut Bekompaijer (orang Bakumpai) terus meningkat dengan pesat, karena bahkan saat ini para Dayak yang menganut paham Mohammedanisme bergabung dengan Bekompaijer; (3) Artikel ditulis oleh Yusliani Noor (2017) berjudul The Mobility of Bakumpai Ethnics Along Barito River in the Perspective of Trade and Spread of Islam (From 15th To 19th Century); (4) Buku tak kalah pentingnya ditulis Hendraswati, dkk (2014) berjudul Peranan Qadhi Abdusshamad dalam Penyebaran Islam pada Masyarakat Dayak Bakumpai di Kabupaten Barito Kuala.
Penutup: Pesan Masa Lalu
Menutup tulisan ini, saya membagikan ingatan personal masa lalu yang kiranya bermanfaat. Pertama, ketika saya berstatus mahasiswa fakultas Dakwah dan menjadi wartawan sebuah tabloid Dakwah dan Politik.
Dalam wawancara dengan Rektor IAIN Antasari Prof. Drs. HM. Aswadie Syukur Lc sekitar tahun 1999, Beliau berpesan untuk tidak usah memberikan label agamis pada suatu kota. Kedua, sewaktu kecil saya mendengarkan ceramah agama di radio usai makan sahur. Nalar saya sebagai anak kecil tidak memahami ketika penceramah mengutip pepatah Arab, “kencingi sumur zam-zam, jika anda ingin terkenal”.
Wallahu a’lam.