Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Daripada mahal-mahal beli mobil, lebih baik pakai mobil carteran. Tidak perlu merawat, servis oli dan aki, bahkan tidak mikirin bayar pajak dan perpanjangan STNK. Tinggal bayar berapa harga sekali carter, langsung bisa pakai.
Partai politik juga demikian, sekarang ini tidak ubahnya seperti mobil carteran. Tinggal bayar, langsung bisa pakai. Tidak perlu ikut merawat dan mengelola. Tidak usah repot jadi pengurus dengan seabrek program kegiatan. Semakin mampu membayar, semakin banyak partai yang bisa dipakai.
Buktinya, banyak kandidat kepala daerah tidak pernah berjibaku dalam partai politik, bahkan bukan bagian dari partai politik tersebut, namun jelang pilkada langsung diusung partai-partai.
Tidak sedikit kader dari suatu partai politik mengajukan diri sebagai kandidat untuk maju Pilkada. Sekalipun yang bersangkutan sudah berjibaku “hampas pangkung, tumbang tumbalik” melakukan upaya pemenangan agar memperoleh kursi saat Pemilu legislatif, namun belum tentu mulus diusung partainya sendiri. Tidak jarang Partai lebih memilih kader lain di luar partai, bahkan kader dari partai yang lain.
Yang lebih menarik, kader partai A diusung partai B –kader partai B diusung partai A. Bahkan tidak sedikit terjadi saling silang, dimana kader sudah tidak lagi mewakili partainya, “camuh”. Seperti kereta api, antara lokomotif dan gerbongnya tidak saling terhubung. Lokomotifnya kemana dan gerbongnya juga kemana, tidak saling terkait.
Nanti saat Pilkada, akan nampak pembelahan partai, menjadi “ramuk, pecah seribu”. Partainya mengusung A, tapi kadernya memilih B. Antara dukungan partai dengan kader akan berbeda. Jangan heran, ada kandidat yang diusung oleh semua partai, tiba-tiba justru tidak memperoleh banyak suara, sebab kader partainya memilih yang lain dari dukungan partai.
Kalau tidak ada ubahnya dengan mobil carteran, untuk apa mengelola partai politik? (nm)