Pilkada Serentak dalam Perspektif Peta Politik Nasional

 

Oleh: Mohammad Effendy  
(Forum Ambin Demokrsi)


BORNEOTREND.COM - Tanggal 27 November 2024 akan dilaksanakan Pilkada serentak secara nasional, dan para kandidat akan mulai mendaftarkan diri di minggu ke IV Agustus ke KPU untuk ikut kontestasi. Di lihat dari aspek politik hukum yang sudah didesain sejak tahun 2015, pemilihan umum akan dilaksanakan dalam 2 (dua) kategori yakni; Pemilu Nasional untuk Pileg dan Pilpres, serta Pemilu lokal berupa Pilkada serentak secara nasional untuk memilih pemimpin tingkat daerah.

Politik hukum tersebut juga telah mendapat legitimasi Mahkamah Konstitusi dalam beberapa Putusannya dan pelaksanaannya dimulai tahun 2024 ini. Dasar pemikiran lahirnya politik hukum untuk menyelenggarakan Pilkada secara serentak nasional karena fakta lapangan menunjukkan bahwa masyarakat disibukkan dengan kegiatan Pilkada yang waktunya ada yang bersamaan dan ada pula yang beriringan antar daerah yang berdekatan dan/atau yang saling berbatasan.

Pemilu lokal dimaksudkan agar masyarakat setempat dapat memilih pemimpinnya sendiri sesuai dengan karakteristik sosial-budaya masing-masing daerah. Oleh karena itu sesuai panduan Mahkamah Konstitusi, pengusungan pasangan calon tidak semata-mata kewenangan parpol atau gabungan parpol, akan tetapi dibuka peluang untuk tampilnya calon perseorangan.

Dalam beberapa kasus, calon perseorangan yang ikut kontestasi di Pilkada ternyata dapat meraih dukungan masyarakat yang tinggi sehingga menjadi calon terpilih dibandingkan dengan calon yang diusung parpol atau gabungan parpol. Kemenangan yang diraih calon perseorangan tersebut tentu tidak dapat dilepaskan karena adanya faktor-faktor yang melatarbelakanginya. 

Misalnya, calon perseorangan yang tampil adalah figur kuat yang sudah popular dan menarik simpati publik yang luas, sementara saingannya adalah Petahana yang dianggap gagal melaksanakan tugas jabatan, dan/atau calon lain yang dipaksakan pengusungannya serta kurang dikenal masyarakat.

Oleh karena Pillkada tersebut dimaksudkan untuk melahirkan tokoh-tokoh daerah yang akan mengabdikan dirinya bagi kemajuan masyarakat setempat, maka seyogianya Pilkada harus dijadikan momentum untuk melakukan seleksi alamiah melalui suara dukungan masyarakat. Akan tetapi tujuan dimaksud ternyata mendapat hambatan karena adanya intrik-intrik politik dalam skala nasional.

Para politisi tingkat nasional yang menduduki jabatan di DPP Parpol sering tidak mempertimbangkan kepentingan daerah dan masyarakat lokal. Mereka memiliki pertimbangan sendiri untuk mengukur kelayakan bakal calon yang akan diusung sebelum mengeluarkan surat rekomendasi persetujuannya sebagai salah satu syarat pendaftaran ke KPU.

Akan tetapi yang sangat memprihatinkan adalah, pertimbangan DPP Parpol tersebut tidak didasarkan kepada ukuran kelayakan yang objektif, tetapi lebih kepada pertimbangan jangka pendek berupa pemberian konpensasi yang dapat diberikan oleh mereka yang ingin mendapatkan rekomendasi persetujuan baik berupa pendanaan maupun bentuk lain.

Hambatan lain yang mulai menggejala dalam kegiatan Pilkada adalah munculnya konspirasi antara politisi yang disimbolisasi oleh DPP Parpol dengan pelaku ekonomi yang memiliki jaringan kepentingan di daerah.  

Untuk mengamankan kegiatan jaringan ekonomi tersebut, maka bakal calon kepala daerah yang akan diusung harus berada dalam kendali politik mereka terutama berkaitan dengan proses pengambilan kebijakan di tingkat pemerintahan lokal.

Pengendalian dimaksud dilakukan dengan jalan memfasilitasi calon yang akan ikut kontestasi dengan cara melalukan komunikasi dengan petinggi Parpol agar dapat mengeluarkan surat rekomendasi untuk memberikan dukungannya. Upaya memfasilitasi tersebut terkadang tidak sekedar untuk mencukupi syarat ambang batas pencalonan, tetapi dapat juga memborong kursi yang tersedia sehingga tidak memungkinkan tampilnya calon alternatif yang dianggap membahayakan.

Kondisi seperti itu tentu tidak sehat dalam pembangunan demokrasi karena tidak memberi peluang adanya persaingan politik yang fair dalam meraih dukungan masyarakat.

Salah satu substansi demokrasi adalah terciptanya kesetaraan semua warga negara. Akan tetapi masih adakah yang peduli dengan pembangunan demokrasi di tengah gelora syahwat kekuasaan.  

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال