Kebudayaan Banjar Harus Dieksplor Secara Mendalam


Taufik Arbain menjadi narasumber stadium general di hadapan dua ratusan mahasiswa baru S2 dan S3 UIN Antasari Banjarmasin.
(Foto: istimewa)

BORNEOTREND.COM - Pascasarjana Universitas Islam Negeri Antasari melaksanakan kegiatan Stadium General kepada mahasiswa baru S2 dan S3 Tahun Akademik 2024-2025 di Aula UIN Antasari jumat, 30 Agustus 2024. Tema yang diangkat "Memperkuat Kajian Akademik Kebudayaan Banjar". Menghadirkan narasumber Dr Taufik Arbain, M.Si dari FISIP Univeristas Lambung Mangkurat dengan topik "Dialektik Riset: Lompatan Jejak Keilmuan Dalam Bertumbuhnya Kebudayaan Banjar."

Menurut Taufik ada beberapa hal mengapa kampus dan insan akademis penting memperkuat kajian kebudayaan Banjar. Pertama, bahwa ada asumsi kajian akademik kebudayaan Banjar masih seputar soal kebudayaan ”pergelaran” saja dan hal-hal umum yang dipahami masyarakat awam.

"Belum banyak menyentuh aspek-aspek komprehensif sebagaimana konsep dan definsi kebudayaan, apalagi melakukan eksplore secara mendalam dan bertahap serta bertautan antara riset yang satu dengan yang lain," ujarnya.

Kedua, menurut Taufik ada tumpang tindih dan pengulangan atas isu-isu kebudayaan Banjar yang minim konstruksi hipotesa, tesa, antitesa atas kajian. "Sayangnya dominan analisis deskriptif, sehingga sangat minim menghasilkan kebaruan (novelty), apalagi terhenti hingga tidak ada lanjutan pendalaman dan saling keterkaitan. Tidak sedikit tulisan dan buku yang isinya hanya pengulangan saja. Kondisinya ini disebabkan juga oleh kurangnya analisis dan crosscheck antar disiplin ilmu dan upaya kolaboratif keilmuan baik bidang ilmu atau kelembagaan yang melakukan riset, termasuk mekanisme pentahapan yang cermat agar terjadi kontinuitas." ungkap Taufik Arbain yang saat ini juga sebagai Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Banjar Kalsel ini.

Ketiga, menurutnya, kajian akademik kebudayaan Banjar belum mampu menjawab tantangan zaman, responsif dan membantu konstruksi kebijakan publik guna pengayaaan dalam pelayanan public social kemasyarakatan. Ini dimaksudkan bagaimana kajian riset selama ini mampu menjawab kebutuhan kebijakan, semisal bagaimana tata nilai kebudayaan banjar mampu menjawab kepentingan lembaga negara seperti kepolisian dalam menjawab pendekatan sosial budaya di masyarakat semisal soal konflk dan relasi antar suku, atau dorongan semangat belajar dan berwirausaha.

"Terkadang selama ini semisal mengkaji terkait soal Tuan Guru Besar Sjech Muhammad Arsyad Al-Banjari hanya seputar lingkup keagamaan saja, padahal sangat luar biasa dan besar pengaruh Tuan Guru ini dalam tatanan sosial budaya, politik dan kebijakan serta kemasyarakatan yang menjadi tatanan budaya tradisi masyarakat Banjar, semisal ghirah keilmuan, ghirah kewirausahaan, ghirah pertanian dan output kebijakan kesultanan pada masa lalu," ungkap Taufik di hadapan lebih dari 220-an mahasiswa baru S2 dan S3 Pascasarjana UIN Antasari.

Taufik menambahkan, bahkan tidak jarang dalam perspektif sejarah masih terpaku pada satu basis kepustakaan (Leiden minded), ternyata ada simpul-simpul catatan dan tulisan yang bersumber dari perpustakaan British, semisal Kementerian Pustaka dan Museum Brunei yang mengumpulkan data data sejarah dan kebudayaan Borneo, ternyata ada bersumber dari perpustakaan British Inggris dan terkait dengan kebudayaan Banjar.

Kajian penguatan akademis kebudayaan yang berkelanjutan bagian dari meningkatkan kualitas dan ruang atmosfir akademis agar jejak pikiran dan gagasan menjadi bermakna sesuai dengan kebutuhan zaman dalam berbagai analysis perspektif.

Ketua Dewan Kesenian Kalsel ini melanjutkan, bahwa disinilah sebenarnya kita insan akademis penting mengkaji secara mendalam tantangan dan apa saja persoalan dalam riset sehingga ianya tidak sekadar menjadi perkara formalitas dalam memenuhi aspek syarat akademis saja, tetapi harus ada semangat melakukan pendalaman lebih seksama, minimal kemampuan mengeksplore data dengan melakukan crosscheck berbagai literatur dan perspektif.  

"Tidak jarang terkadang output tesis hanya seperti skripsi yang tebal, dan disertasi tidak lebih dari tulisan tesis yang tebal sementara kurang terpenuhi syarat yang mendasari dari level tulisan ilmiah tersebut. Kelemahannya justru banyak belum mampu membuat thesis statement yang dikontruksi dari analisis kebaruan (novelty). Inilah yang banyak kalangan menganggap hanya pengulangan-pengulangan saja," ujar akademisi yang sudah banyak menulis buku tentang persoalan kebudayaan, kependudukan dan sosial politik lainnya.

Editor: Khairiadi Asa

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال