Oleh : Mohammad Effendy (Forum Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional yang merupakan pelaksanaan dari politik hukum untuk mengatur ulang agenda ketatanegaraan dimaksudkan agar terdapat efisiensi pembiayaan serta tidak membuat masyarakat disibukan dengan kegiatan kepemiluan. Desainnya dibuat secara bertahap dengan mempertimbangkan masa periodesasi kepala daerah/wakil kepala daerah, sehingga sampai pada tahapan Pilkada serentak nasional di November 2024.
Sebagian besar warga masyarakat dan juga para politisi berpendapat bahwa tahun 2024 adalah tahun panas yang penuh dengan hiruk-pikuk dan bisik-bisik yang beraroma politik karena adanya penyelenggaraan Pileg dan Pilpres bulan Februari yang kemudian dilanjutkan dengan Pilkada di bulan November. Semua pembicaraan di berbagai tempat baik di gedung markas parpol, restoran dan kafe mewah sampai warung kopi di pinggir jalan kampung tidak pernah lepas dari topik politik.
Di banua kita terkait dengan penyelenggaraan Pilkada, terdapat pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur di tingkat provinsi serta bupati/walikota di 13 kabupaten/kota. Pimpinan Parpol sibuk dengan lobby politik untuk membahas siapa Paslon yang akan diusung serta parpol apa yang dapat dijadikan rekan koalisi. Figur paslon pun mulai bermunculan dari orang-orang yang sudah lama digadang-gadang oleh parpol tertentu sampai dengan tokoh baru yang tidak dikenal tapi ingin mencoba peruntungan dalam Pilkada.
Ketika aturan yang berkenaan dengan syarat untuk dapat mengajukan Paslon masih diangka 20 % kursi DPRD setempat, maka beberapa figur yang tadinya ingin kompetisi akhirnya harus merelakan dirinya batal menjadi Paslon karena suara dukungan parpol/koalisi parpol tidak mencukupi persyaratan. Apalagi ada figur tertentu yang sudah memborong dukungan parpol baik secara sukarela maupun karena adanya iming-iming finansial.
Akan tetapi saat keluar Putusan MK yang merevisi peryaratan pengajuan Paslon sehingga angkanya tidak lagi 20 % kursi DPRD, maka para tokoh yang tadinya sudah berpamitan dengan timsesnya, mendapat semangat dan harapan baru untuk ikut bertarung memperebutkan suara rakyat. Terjadi negoisasi untuk membuat kesepakatan baru dengan pimpinan parpol termasuk dengan parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD tapi ada stok suara yang tersimpan di gudang dan siap untuk digunakan.
Muncullah Paslon baru sebagaimana tertuang dalam Keputusan KPU untuk menjadi peserta pilkada. Sebagian memang Paslon yang sudah diprediksi akan lolos karena sudah mengantongi dukungan parpol/koalisi parpol, sebagian lagi Paslon yang dianggap nekad ikut berkompetisi. Ada dua kabupaten (Balangan dan Tanah Bumbu) yang sejak awal Paslon nya hanya 1 pasang, sehingga ditetapkan KPU sebagai Paslon Tunggal, dan satu Kota yakni Banjarbaru, Paslon yang “ditunggalkan”.
Dalam kegiatan debat publik yang memang diagendakan oleh KPU, masyarakat dapat menyaksikan langsung figure pemimpin mereka mempresentasikan Visi, Misi, dan Program yang dicoba ditawarkan dan bagaimana Paslon tersebut memberi penjelasan untuk dapat melaksanakan janji politik dimaksud.
Ada yang lancar dan penuh semangat menjelaskan Visi, Misi, dan Program yang ditawarkan sekaligus menjawab pertanyaan Tim Panelis atau pertanyaan paslon lain, ada juga yang memang sigap menjawab namun tidak nyambung dengan pertanyaan, dan terdapat pula yang terbata-bata dalam memberikan uraian konsep yang mereka tawarkan.
Akan tetapi pasca pemungutan suara 27 November 2024, dan angka dukungan sudah dapat diikuti dalam berbagai pemberitaan, sebagian masyarakat terkejut dan terperangah melihat perolehan suara Paslon. Sebagian Paslon yang memperoleh dukungan tinggi suara masyarakat adalah Paslon yang memang sudah diprediksi sejak awal, namun ada juga Paslon yang meraih dukungan tinggi suara pemilih tapi bukan Paslon yang diunggulkan.
Politik memang memiliki rumus matematika sendiri, sehingga hasilnya tidak selalu sejalan dengan fakta objektif di lapangan. Faktor kekuatan logistik memang tetap berada di peringkat atas, akan tetapi ada faktor baru yang juga cukup signifikan yakni adanya “intervensi” dari sebuah kekuatan belakang layar yang sulit untuk dilawan terutama bagi masyarakat di pedesaan.
Kita kembali menyaksikan pembangunan demokrasi yang semu dan menambah keprihatinan karena hasil Pilkada belum memberikan titik cerah untuk adanya perubahan yang signifikan di masa depan. Akan tetapi kita tidak boleh putus asa dan kehilangan harapan untuk terus berjuang, dan hanya semangat itu yang masih tersisa dan tentu saja tidak boleh hilang.