Oleh: Halim HD (Networker-Organizer Kebudayaan) |
BORNEOTREND.COM - Perkembangan kebudayaan kian melaju. Seiring dengan laju tehnologi serta berbagai tehnik yang ikut mendukung perkembangan kebudayaan. Laju kebudayaan ditentukan oleh siapa yang menjadi pengelolanya. Ada begitu banyak beragam pengelola produk kebudayaan dalam aspek kesenian. Seni pertunjukan dan senirupa dalam berbagai jenis serta disiplin yang berkaitan dengan pengembangan bentuk dan wujud dari produk.
Dari perspektif pengelola, dia tidak hanya membutuhkan keterampilan dan kompetensi yang bersifat professional. Dalam konteks ini, perlu kiranya suatu tata kelola yang didasarkan kepada kapasitas rasional. Kapasitas rasional, artinya suatu proses dalam kerja dengan disiplin riset, pengembangan riset dan pengolahan dari hasil riset.
Tapi pihak pengelola produksi kebudayaan ataupun kesenian sangat membutuhkan ruang perantara yang bisa menghubungkan antara produsen dengan konsumen. Berkaitan dengan hal ini, ruang sebagai medium perantara yang mempertemukan antara produsen yang menyajikan hasil produksinya kehadapan publik.
Suatu produksi lukisan, atau karya kriya kayu atau logam, tekstil, dan berbagai bentuk senirupa dalam perspektif tradisi dan moderen hanya bisa diketahui oleh publik jika memiliki locus: suatu lokasi yang permanen yang dijadikan sebagai titik temu sosial. Titik temu sosial suatu produksi kebudayaan bisa kita sebut sebagai ruang publik kebudayaan yang dijadikan sebagai medium bagi warga, produsen, seniman, konsumen dan juga pengamat dalam berinteraksi.
Dalam konteks itulah betapa perlunya Banjarmasin memiliki berbagai locus ruang publik kebudayaan yang bisa merepresentasikan karya kesenian. Locus ruang publik bisa ddiciptakan melalui politik tata ruang yang bersifat inklusif, dengan menyertakan pelaku kesenian dan warga serta stake holder kebudayaan. Di samping itu, locus ruang publik kebudayaan bisa melibatkan instansi kebudayaan yang ada. Saya pikir, betapa perlunya diantara tata ruang yang kian terbatas di Banjarmasin, stake holder kebudayaan dan kaum seniman serta produsen kerajinan untuk melibatkan Taman Budaya Kalsel (TBKS).
Berkaitan dengan hal itu, juga betapa perlunya bagi TBKS untuk membuka pintu, dan menerapkan prinsip utama sebagai ruang publik kebudayaan. Sebab, salah satu gagasan utama berdirinya Taman Budaya di Indonesia sejak tahun 1982, dan khususnya TBKS sejak tahun 1990-an, adalah sebagai ruang publik bagi warga. Dengan sarana kesenian yang telah tersedia, TBKS bisa menjalankan suatu praktek politik kebudayaan dalam kaitannya dengan pengembangan industri kreatif di Kalsel.
Pada sisi lainnya, DPW Gekraf Kalsel harus memikirkan rancangan tata ruang industri kreatif yang lebih terbuka: pada satu sisi sebagai ruang locus sebagai medium pertemuan antara produsen dengan konsumen, sisi lainnya menjadikan locus industri kreatif sebagai ruang laboratorium. Ruang laboratorium industri kreatif sangat dibutuhkan berkaitan dengan usaha untuk mengembangkan karya dan hasil produksi melalui eksperimentasi. Dalam locus bersifat laboratorium inilah pertemuan dan dialog kritis antara seniman, pengamat serta pengkaji karya bisa bertemu untuk mengolah gagasan serta konsep dan menguji ulang tehnik yang dibutuhkan untuk pengembangan karya kreatif berikutnya.
Dalam hal ini, TBKS juga bisa melibatkan diri secara khusus melalui produksi seni pertunjukan sehubungan dengan sarana yang dimilikinya. Tentu saja, kampus harus terlibat dalam kaitannya dengan riset dan pembacaan gagasan serta konsep dan pengujian tehnik-tehnik yang terbaru.
Salah satu hal yang sering dan banyak dibicarakan dalam kaitannya dengan industri kreatif masalah pemasaran (marketing). Tapi, marketing hanya bisa tumbuh dan berkembang jika ada karya-karya inovatif yang teruji.
Sekali lagi, dalam hal ini, betapa pentingnya locus laboratorium industri kreatif untuk menunjang marketing industri kreatif. Tanpa dukungan laboratorium sebagai ruang uji coba, eksperimentasi dan konservasi bagi khasanah tradisi, tak akan pernah ada suatu karya yang bisa berkembang. Kejumudan produksi yang hanya mengulang karya yang itu-itu saja serta tak adanya kemajuan dalam pengembangan tehnik akan menciptakan kemandegan arus marketing. Disebut industri krearif jika memang ada proses kreatifitas yang terus menerus diuji di dalam locus laboratorium.
Dalam konteks senirupa yang berkaitan dengan khasanah tradisi, moderen-kontemporer, maka locus industri kreatif justeru sangat membutuhkan locus laboratorium. Sebab, dunia kesenian moderen dan kontemporer merupakan produk dari cara dan proses berpikir dan proses riset yang setiap saat selalu harus dilakukan. Pada perspektif kesejarahan, betapa pentingnya pelacakan khasanah tradisi dan menjadikan khasanah itu sebagai batu uji dan inspirasi karya-karya baru. Dalam konteks itulah dibutuhkan litbang yang didukung oleh tata kelola dan pelaku yang kompeten dan profesional.
Catatan akhir yang perlu saya sampaikan disini. Dunia industri kreatif harus jeli dalam melihat tata ruang masa lampau berkaitan dengan sistem produksi khasanah senirupa tradisi. Hal ini kuat kaitannya dengan ekosistem komunitas dan perkampungan serta perdesaan yang pernah memiliki dan menjadi basis produksi industri kreatif yang mendasari basis kebudayaan lokal, yang kuat kaitannya dengan basis material lokal, yang berujung pada penggunaan produksi itu sebagai bagian dari kehidupan dan ritual sosial, seperti karya kriya kayu, logam, tekstil, dan sebagainya.
Untuk itulah betapa pentingnya merumuskan strategi ruang kebudayaan yang didasarkan kepada jejak sejarah sosial yang ada di lingkungan masyarakat.