Oleh: Mohammad Effendy (Forum Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Falsafah kehidupan yang bersumber dari nilai-nila spiritual agama mengajarkan bahwa suatu negeri akan mengalami kehancuran jika hukum hanya tampil perkasa berhadapan dengan orang miskin, orang papa, dan/atau mereka yang tidak berdaya. Sementara hukum menjadi mandul jika berhadapan dengan orang kaya atau dengan mereka yang berkuasa.
Secara empirik nilai-nilai spiritual tersebut telah terbukti dalam perkembangan sejarah bangsa-bangsa di dunia. Catatan sejarah menguraikan bahwa negara yang tadinya besar dan menguasai wilayah yang sangat luas, akhirnya hancur berkeping-keping, tercerai-berai menjadi negeri-negeri kecil yang hanya dipandang sebelah mata. Salah satu faktor penyebab kehancuran tersebut adalah ketika penguasa negara tidak lagi menjaga rasa keadilan bagi rakyatnya.
Embrio kehancuran dimulai dengan tindakan penguasa yang sewenang-wenang, menindas mereka yang dianggap melawan kekuasaan, mengambil hak-hak rakyat untuk memuaskan syahwat karakusan, serta menjadikan ruang pengadilan sebagai panggung sandiwara untuk mengelabui seolah-olah hukum itu masih ada.
Aparat penegak hukum yang diberi tugas oleh negara untuk menjaga dan menegakkan hukum dan keadilan seharusnya tetap focus pada kewajibannya tersebut. Dalam sistem negara demokrasi independensi aparat penegak hukum sangat dijunjung tinggi, sehingga mereka harus bebas dari segala macam intervensi. Jalan lurus mereka adalah peraturan perundang-undangan, dan atas nama peraturan perundang-undangan itulah mereka bekerja melaksanakan kewajibannya.
Akan tetapi ketika aparat penegak hukum mulai tidak fokus lagi dengan tugas dan kewajibannya, serta melakukan keberpihakan sehingga menterjemahkan hukum sesuai dengan kepentingan sekelompok orang, baik kelompok yang memegang kekuasaan maupun mereka yang mempunyai akses ekonomi yang sangat kuat, maka benih-benih ketiakadilan akan tumbuh dengan suburnya.
Rakyat akan menjadi korban dari tindakan aparat penegak hukum yang sudah melakukan pemihakan , sehingga hak-hak mereka sebagai warga negara tidak lagi mendapat perlindungan.
Tindakan pelanggaran hukum akan terjadi secara masif, sehingga akan menimbulkan gesekan sosial yang sangat berbahaya.
Dalam kondisi seperti ini kehadiran negara yang mempunyai kewajiban untuk menjaga ketenteraman dan kedamaian sangat diperlukan. Jika negara lalai dan terus membiarkan masyarakat menyelesaikan sendiri gesekan sosial tersebut, maka lambat laun ia akan makin meluas dan pada titik tertentu akan sulit dikendalikan.
Kritikan keras dari para tokoh serta elemen civil society yang mengingatkan Pemerintah dan merupakan symbol negara agar secepatnya memperbaiki keadaan selagi masih ada kesempatan, seyogianya didengar untuk kemudian dilakukan kajian dengan pikiran jernih. Bukan sebaliknya, suara kritikan tersebut diredam dengan berbagai usaha yang tidak layak dilakukan.
Negeri ini adalah rumah besar yang menjadi milik kita bersama, dan semua yang berada di dalamnya berkewajiban untuk merawat dan menjaganya. Kebocoran dan kerusakan yang terjadi di beberapa sudut rumah harus segera kita perbaiki agar membuat kita menjadi nyaman kembali. Sebagian memang berada di kamar-kamar luas yang mewah, namun sebagian besar lainnya berada di pojok yang sumpek, penuh dengan sarang laba-laba, dan basah kuyup saat hujan deras turun dari langit.
Distribusi pembangunan yang merata di semua wilayah dan membuka akses yang sama bagi semua warga untuk dapat bertahan hidup secara layak, serta upaya maksimal untuk menegakkan hukum dan keadilan, adalah pekerjaan besar yang harus kita lakukan bersama.
Perjalanan membangun keadilan memang masih begitu terjal untuk dilalui, namun jika ia dilakukan dengan tekad kuat dan komitmen tinggi maka sedikit demi sedikit cahaya kehidupan akan merekah dengan sendirinya.