![]() |
Oleh: Mohammad Effendy (Forum Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Wacana ingin mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah yang dalam beberapa waktu telah dilaksanakan secara langsung kepada bentuk perwakilan yakni melalui DPRD memang sudah pernah disuarakan. Sekarang ini kelihatannya kian menguat setalah berlangsungnya pemilihan kepala daerah serentak secara nasional yang menguras biaya yang sangat besar. Biaya tersebut di samping untuk penyelenggaraan pilkadanya, juga biaya yang dikeluarkan oleh paslon, dan angkanya sangat fantastik.
Munculnya wacana tersebut mengingatkan kepada ucapan seorang Guru Besar dalam suatu kesempatan kuliah umum di sebuah kampus. Guru Besar tersebut menyatakan bahwa, teori yang berkaitan dengan mekanisme pemiihan pejabat publik sebenarnya bersifat netral. Masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan, sehingga perlu disesuaikan dengan kondisi politik dan aspek sosial budaya masyarakat.
Dalam konteks negara kita lanjutnya, setidaknya dalam perkembangan ketatanegaraan telah dilakukan tiga model mekanimse pemilihan pejabat publik tingkat kepala daerah. Pertama, di era rezim ordebaru mekanisme pemilihan kepala daerah melalui proses pencalonan oleh DPRD setempat setidaknya 3 (tiga) orang calon. Salah satu calon yang diusulkan DPRD tersebut akan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai Kepala daerah.
Model pertama ini mendapat kritikan tajam di era reformasi, dan tuntutan untuk melakukan perubahan bergaung kuat. Selanjutnya muncul model kedua, yakni kewenangan untuk menetapkan kepala daerah diserahkan sepenuhnya kepada DPRD setempat, dan Pemerintah Pusat tinggal meresmikan saja.
Dalam perjalanannya, model kedua ini kembali mendapat kritikan publik yang tajam, karena ruang sidang DPRD dalam agenda pemilihan kepala daerah berubah menjadi “panggung lelang suara”, dan masing-masing Paslon cukup menawarkan harga lelang kepada separo lebih sedikit anggota DPRD, dan jika tawaran itu diterima mereka, maka Paslon akan mendapat suara terbanyak dan akan ditetapkan sebagai Paslon terpilih.
Akhirnya seiring dengan perubahan mekanisme pemilihan Presiden/Wakil Presiden yang tadinya melalui Lembaga MPR menjadi pemilihan langsung oleh rakyat, maka lahirlah model ketiga pemilihan kepala daerah, yaitu Pilkada langsung yang berlaku sampai sekarang ini. Sebagaimana yang dapat diikuti dalam pemberitaan yang cukup massif, model ketiga inipun kembali mendapat sorotan berbagai elemen masyarakat.
Sambil bercanda, Guru Besar itu melanjutkan paparannya dengan nada bertanya; mengapa teori yang bersifat netral ini dan telah dipraktekan di beberapa negara namun mereka baik-baik saja, akan tetapi ketika dilaksanakan di negara kita, semua teori itu menjadi “rusak dan bermasalah” ?
Pertanyaan ini seharusnya membuat kita tersinggung karena menusuk sanubari kebangsaan, akan tetapi lagi-lagi bukanya tersinggung, kita malah tertawa bersama.
Mengikuti alur pikir yang disampaikan Guru Besar di atas, maka secara faktual jelas terlihat bahwa semua model yang didasarkan kepada teori pemilihan pejabat publik telah kita coba laksanakan.
Akan tetapi semuanya menimbulkan persoalan sosial dan politik yang serius. Hal ini berarti bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah bukan terletak pada model pemilihan yang akan kita pilih dan laksanakan. Akan tetapi pada mental bangsa yang berada di titik kerapuhan yang sangat berbahaya.
Jika asumsi di atas memiliki kebenaran dan secara empirik memang telah terbukti, maka upaya yang perlu kita lakukan sebaiknya bukan sekedar mengubah mekanisme pemilihannya, akan tetapi mengubah mental masyarakat dan mental elit politik serta elit pemerintahan agar tumbuh kesadaran dan rasa tanggung jawab akan masa depan bangsa ini.
Kepada mereka yang sekarang berada di zona aman dan telah menikmati segala fasilitas yang seharusnya menjadi hak rakyat, perlu diingatkan bahwa jika kerusakan mental telah berada di titik kulminasi, maka kita tinggal menunggu datangnya bencana. Jika bencana itu datang, maka ia akan menimpa kita semua, termasuk orang-orang jumawa yang merasa dirinya tidak akan tersentuh oleh apapun.