Makna Otonomi Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

 

Oleh: Mohammad Effendy 
(Forum Ambin Demokrasi)

BORNEOTREND.COM - Ketika membahas tentang bentuk negara dalam persidangan di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Bung Hatta mengusulkan agar negara yang akan didirikan bentuknya adalah federasi. Usulan tersebut dilatarbelakangi oleh hasil pengamatan Bung Hatta tentang negara-negara di Eropa yang wilayahnya relatif kecil, sehingga dengan kondisi negara kita yang sangat luas maka terlalu berat jika bentuk negaranya adalah kesatuan.

Berbeda dengan Bung Hatta, Soekarno yang sejak mudanya sudah memiliki cita-cita ingin menyatukan rakyat, maka konsep negara yang diusulkan Soekaro adalah negara kesatuan. Kita hanya akan membentuk satu negara tegas Soekarno, bukan beberapa negara yang akan dijadikan satu dalam bentuk federasi. Wilayah kita memang sangat luas, namun jiwa dan semangat rakyat menyatu dalam bhinneka tungal ika.

Dua pemikiran besar dari tokoh pendiri bangsa tersebut memunculkan kompromi yang sangat elegan dengan kesepakatan bahwa bentuk negara yang akan didirikan adalah Negara Kesatuan, namun daerah-daerah akan diberikan otonomi yang luas. Pemberian otonomi yang luas merupakan jalan tengah untuk menampung konsep dan pemikiran Bung Hatta.

Praktek otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan mengalami pasang surut, terkadang dominasi pusat sangat kuat sehingga cenderung ke arah sentralisasi sebagaimana berlangsung di bawah rezim ordebaru. Akan tetapi dalam situasi berbeda, otonomi daerah lebih menonjol sehingga terjadi desentralisasi kewenangan yang lebih luas kepada daerah seperti terlihat pada awal reformasi.

Setelah berjalan selama dua dekade reformasi, kecenderungan sentralisasi mulai terasa kian menguat kembali. Beberapa kewenangan yang sangat strategis seperti bidang pertambangan dan kehutanan serta beberapa sektor lain yang tadinya berada di daerah, sekarang telah ditarik menjadi kewenangan Pusat. Dampak yang sangat dirasakan adalah berkurangnya sumber-sumber pendapatan daerah, dan tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pusat makin tinggi.

Kondisi makin kuatnya kecenderungan sentralisasi kian diperparah dengan penyelenggaraan Pilkada di mana para calon kepala daerah berada dalam kendali Dewan Pimpinan Pusat Parpol serta pemegang kekuatan ekonomi. Akibatnya calon kepala daerah terpilih tidak lagi merasa punya kewajiban untuk memajukan daerah dan rakyat yang dipimpinnya, tapi lebih berorientasi pada kepentingan orang-orang yang memberinya dukungan dalam proses Pilkada.

Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak lagi didasarkan kepada kajian empirik mengenai kebutuhan rakyat yang sangat mendesak, namun lebih ditujukan kepada proyek-proyek yang memiliki resonansi terhadap kepentingan segelintir orang yang notabene mempunyai andil mendudukannya di kursi Kepala Daerah.

Esensi otonomi sebenarnya adalah penyerahan sebagian kewenangan urusan pemerintahan dari Pusat kepada Daerah untuk dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi objektif dan keragaman daerah itu sendiri. Daerah diberi kebebasan untuk melaksanakan urusan otonomi sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.  

Oleh karena itu secara substansial kewenangan otonomi ditujukan untuk menyahuti kepentingan masyarakat, sehingga titik beratnya berada di tingkat kabupaten/kota yang berhadapan langsung dengan masyarakat akar rumput.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka tugas pokok Bupati/Walikota adalah memberikan pelayanan terbaik untuk rakyatnya dan memastikan bahwa segala kebutuhan masyarakat terpenuhi secara optimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki daerah.  

Pelayanan terbaik tentu tidak terbatas pada sektor utama seperti bidang pendidikan, kesehatan, dan administrasi pemerintahan. Harus dipahami bahwa pelayanan terbaik juga termasuk penyediaan infrastruktur seperti jalan yang layak untuk sarana transportasi, pasar tradisional yang nyaman dan bersih, angkutan umum dan lain-lain.

Akan tetapi fakta lapangan menunjukkan hal yang berbeda, karena Bupati/Walikota terkadang melupakan tugas pokoknya. Mereka lebih disibukan dengan acara seremonial, lobby politik, serta merancang proyek-proyek besar yang kurang memberikan implikasi positif bagi kepentingan rakyat kecil. Masyarakat umum dibiarkan menjalani kehidupan secara alami, tanpa dukungan, tanpa pendampingan, tanpa sentuhan kebijakan yang dapat mendorong mereka dapat memperbaiki kualitas kehidupannya.

Kita dapat menyaksikan sendiri bagaimana rakyat dapat bertahan hidup dengan perjuangan yang sangat berat. Mereka menciptakan sendiri peluang usaha yang dapat memberinya sedikit rezeki agar bisa makan bersama keluarga tanpa ada kepedulian dan arahan kebijakan dari Pemerintah Daerah. Bahkan, peluang usaha tersebut terkadang dihambat oleh oknum pemerintahan dengan alasan perizinan dan legalitas lainnya.  

Ketika hambatan tersebut ditemui, mereka berjuang sendirian melawan pemerasan dan tindakan ketidakadilan tanpa ada perlindungan dan pendampingan dari orang-orang yang diberi amanah jabatan.  

Sampai kapan keadaan ini terus berlangsung, adakah harapan baru setelah Pilkada selesai dan kepala daerah baru terpilih? Perubahan hanya dapat terjadi jika ada orang-orang yang peduli dan berjuang untuk melakukan perbaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan.  

Masih adakah tersisa para relawan pejuang tersebut?


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال