![]() |
Oleh: Mohammad Effendy (Forum Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Salah satu kegiatan kampanye pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang difasilitasi oleh KPU di Pilkada 2024 adalah debat terbuka yang disiarkan secara live oleh media elektronik. Sesi awal pada debat terbuka tersebut adalah pemberian kesempatan kepada masing-masing pasangan calon untuk memaparkan visi, misi, dan program yang akan dilaksanakannya jika mereka terpilih.
Berdasarkan hasil pengamatan pada banyak debat terbuka, uraian visi, misi, dan program para pasangan calon hampir semuanya berisikan hal-hal terbaik bagi kemajuan daerah. Sebagian ada yang realistik karena disesuaikan dengan kemampuan anggaran sehingga kemungkinan besar dapat direalisasikan. Akan tetapi sebagian lagi berisi keinginan semata dan bersifat fantastik karena tidak mungkin untuk dilakukan jika diukur dengan potensi yang dimiliki daerah yang bersangkutan.
Langkah awal bagi pasangan kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih adalah melakukan kajian serius bagaimana menterjemahkan visi, misi, dan program yang sudah dipaparkan dalam debat terbuka dimaksud dalam bentuk kegiatan operasional di lapangan. Penterjemahan vivi, misi, dan program tersebut antara lain berupa perencanaan secara komprehensif dan di dalamnya terlihat benang merah dengan visi dan misi, penghitungan dukungan anggaran, ketersediaan tenaga ahli/professional, serta evaluasi keberhasilan.
Sebagai pejabat publik yang mengemban amanah dari rakyat yang memilihnya, maka upaya menterjemahkan janji politik tersebut memerlukan kemampuan manajerial yang kuat. Kemampuan tersebut diperoleh dari pengalaman panjang sebagai politisi atau selaku akademisi, maupun pernah terlibat dalam jajaran birokrasi pemerintahan. Mereka yang tidak memiliki pengalaman dalam interaksi politik maupun budaya birokrasi, tentu akan menghadapi banyak tantangan dan persoalan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Namun demikian, bagi kepala daerah terpilih yang memiiki sifat rendah hati untuk menerima masukan, saran, serta pendapat dari berbagai pihak, maka kelemahan tersebut sedikit demi sedikit dapat diatasi. Sebaliknya, kepala daerah yang menutup diri dan hanya menggunakan jabatannya sebagai alat kekuasaan untuk menggerakkan orang lain untuk bekerja, maka di samping ia akan kelelahan sendiri juga janii politik yang ia paparkan sulit untuk dipenuhi.
Birokrasi pemerintahan memang memiliki budayanya sendiri, karena sudah terbiasa dengan berbagai panduan yang tertuang dalam norma-norma standar yang terjabarkan pada berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk tehnis. Akan tetapi bagi figure kepala daerah yang sarat pengalaman berinteraksi dengan banyak elemen masyarakat, norma standar dimaksud dapat ia terjemahkan dan ia laksanakan berdasarkan kondisi spesisifik yang ada di wilayahnya.
Kemampuan menterjemahkan tersebut bisa didapatkan dari pengalamannya sendiri, maupun didasarkan kepada masukan serta saran dari mereka memiliki kompetensi keilmuan. Di era kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi sekarang ini, kebijakan publik seorang kepala daerah sebaiknya berbasis data yang akurat hasil studi empirik yang dapat dipertanggungkan jawabkan secara ilmiah.
Kebijakan publik yang dibuat berdasarkan firasat semata atau tujuan tertentu untuk memenuhi kepentingan pragmatis, maka di samping dapat merugikan rakyat juga akan berpotensi menjadi bumerang bagi yang melakukannya.
Rakyat kita memang sangat “pelupa” dengan janji politik yang sudah dipaparkan oleh pasangan calon ketika mempromosikan dirinya agar mendapat dukungan di hari pemungutan suara. Sifat pelupa itu antara lain karena rakyat acuh dengan janji politik yang diucapkan, namun satu hal yang mereka selalu ingat yakni janji “amplop” yang akan dibagikan. Akan tetapi meski demikian jangan salahkan rakyat kita yang pelupa, karena itu memang sengaja didesain oleh mereka yang berduit.
Uang memang dapat membeli apa saja dalam kegiatan yang berkaitan dengan politik di negeri kita ini termasuk untuk membeli harkat dan martabat kemanusiaan. Mengapa harkat dan martabat kemanusiaan di negeri kita dapat diperjual-belikan dengan harga yang begitu murah?
Mungkin karena harkat dan martabat kemanusiaan kita sudah “tergadai” dan kita tidak mampu untuk menebusnya lagi.