Menyoal Adiksi Kunjungan Kerja Wakil Rakyat (Bagian I)

 

Oleh Nasrullah
Penulis, Antropolog dan Dosen Prodi Pendidikan Sosiologi, FKIP ULM


BORNEOTREND.COM - Saya terkejut menatap angka kunjungan kerja wakil rakyat kabupaten X yang secara akumulatif tidak masuk akal dan hanya bisa dilakukan karena adiksi. Akibatnya, wakil rakyat berpotensi membatasi tugasnya melakukan pembahasan rancangan anggaran pembangunan daerah, inisiasi dan debat pembentukan perda bersama pemerintah serta kontrol pemerintahan. 

Di sisi lain, tidak ada yang menyoal angka ini sehingga jika pembiaran terjadi akan membuat wakil rakyat terus menerus mengulang (recurrent) kunjungan kerja yang pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan baru. Lebih jauh, status wakil rakyat hanya atribut kedinasan yang jiwa sebenarnya adalah pelancong (traveller) dengan fasilitas atau uang negara.

Hitung Biji” Kunjungan Kerja

Pada saat tulisan ini diterbitkan, wakil rakyat kabupaten X mungkin sedang kunjungan kerja ke luar daerah. Namun bukankah kunjungan kerja itu sah-sah saja dilakukan? Fokus saya pada intensitas kunjungan kerja ke luar daerah misalnya berdasarkan sumber data statistik kabupaten tahun 2024 terdapat akumulasi 178 kunjungan kerja komisi keluar kabupaten. Jumlah ini sulit dirasionalkan, apabila sekali kunjungan membutuhkan estimasi tiga hari maka total 534 hari kunjungan padahal setahun hanya 360 hari. Kuantitas itulah yang saya sebut sebagai adiksi kunjungan kerja. 

Mungkin akan rasional jika kunjungan kerja dilakukan maraton beberapa kali dalam sehari dengan melibatkan sejumlah komisi. Kalau ini terjadi, berarti rumah rakyat akan kosong ditinggal penghuninya secara serentak. Sebagai perbandingan ada 20 kunjungan kerja dalam kabupaten meliputi 17 kunjungan kerja komisi dalam daerah kabupaten dan 3 kunjungan kerja reses DPRD. Dengan kata lain, kunjungan kerja ke luar kabupaten ratusan kali, sedangkan kunjungan kerja dalam kabupaten hanya puluhan kali. Perbandingan lain, terdapat 77 berbagai jenis rapat yang diselenggarakan wakil rakyat. Apakah kuantitas rapat itu berbanding jumlah hari atau dipadatkan dalam satu hari beberapa kali rapat. 

Sambil menunggu statistik kabupaten tahun 2025, melalui sumber lain memperlihatkan aktivitas wakil rakyat kabupaten X melakukan 20 hari kunjungan kerja komisi, 4 hari bimbingan teknis di luar pulau, 3 hari rapat pada bulan Desember 2024. Akan ada 23 hari kunjungan kerja yang dilakukan bulan Januari 2025. Juga dilakukan 7 kali rapat di gedung DPRD kabupaten dalam satu hari saja seolah tidak ada hari lain. 

Data tersebut menghadirkan dua hal. Pertama, muncul tanda tanya, jika rapat maraton dalam sehari apakah cukup waktu untuk benar-benar melakukan perdebatan memperjuangkan aspirasi rakyat. Apakah terjadi kebuntuan dalam mengambil keputusan ataukah hanya sekedar menghadiri ketok palu. Mengapa jumlah rapat tidak ditingkatkan sampai pada level layak mendapat rekor Muri. Kedua, secara terang benderang dengan “hitung biji” atau tanpa menggunakan kalkulasi statistis rumit, seperti pepatah rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau akibatnya wakil rakyat kabupaten X lebih sering mengunjungi warga di luar daerah dibandingkan mengunjungi warga sendiri. 

Bahayauan, Kunjungan Kerja Wakil Rakyat

Agar adiksi kunjungan kerja tidak sekadar angka, maka sebagai orang yang meneliti dan native speaker Bakumpai, terdapat istilah bahayauan yakni keluyuran. Pengertian ini boleh jadi berasal dari tradisi tahap evolusi mulitilinear yakni food, gathering and hunting (mengumpulkan makanan (meramu) dan berburu). Praktik bahayauan (keluyuran) ini cenderung tidak banyak memberikan manfaat karena tidak memiliki tujuan yang spesifik atau dilakukan secara acak (random). Itulah sebabnya, orang tua Bakumpai melarang anak-anaknya keluyuran tidak jelas karena memakan waktu yang lama. Orang tua akan memarahi anak-anaknya yang suka bahayauan dengan menampilkan horor disembunyikan hantu. 

Hubungannya ada pada pertanyaan apakah manfaatnya adiksi kunjungan kerja untuk mendukung fungsi wakil rakyat kabupaten X. Jika kunjungan kerja merespon situasi di daerah sehingga perlu berkaca pada kinerja wakil rakyat atau instansi pemerintah daerah lain tentu ada penjelasan yang disampaikan kepada publik. Namun ratusan kali kunjungan kerja, sungguh minim pemberitaan. 

Apakah terdapat aset kabupaten X di luar daerah sehingga menjadi tempat yang dikunjungi. Ketika saya masih kuliah S2 di Yogya tahun 2005-2008, wakil rakyat Provinsi Kalimantan Selatan mengunjungi asrama-asrama mahasiswa. Mereka melihat fisik bangunan, perabotan dalam asrama, konfirmasi kepada mahasiswa yang mendiami asrama. Adapun aset daerah kabupaten X, setahu saya adanya di Banjarmasin yang terdapat asrama mahasiswi yang dibangun beberapa tahun lalu. Pernahkah mereka mengunjunginya?

Maka tanpa adanya kebutuhan kunjungan kerja berdasarkan kondisi daerah bersangkutan dan relevansinya kepada kegiatan atau daerah tujuan, kunjungan kerja tersebut benar-benar aktivitas bahayauan (keluyuran) belaka. Persoalannya, siapa yang mengingatkan wakil rakyat kabupaten X untuk tidak bahayauan (keluyuran), apakah badan kehormatan dewan mungkin, aktivis atau akademisi. Entah lah? 

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال