![]() |
Ketua PBNU Ulil Abshar Abdalla – Foto Antara |
BORNEOTREND.COM, JAKARTA – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendukung DPR RI segera mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba)
"Kami mendukung sepenuhnya (Badan Legislasi DPR RI) dan tidak hanya mendukung, kami mendukung supaya revisi ini cepat-cepat disahkan," kata Ketua PBNU, KH Ulil Abshar Abdalla dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Jakarta, Rabu (22/1/2025).
Ulil menilai revisi UU itu bernilai penting untuk dilakukan agar ada payung hukum bagi ormas keagamaan dalam mengelola tambang usai memperoleh konsesi tambang dari pemerintah.
"Sekarang ini ada usulan judicial review di MK (Mahkamah Konstitusi) terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tentang Konsesi Pertambangan ini karena memang belum ada payung hukum pada tingkat undang-undang itu. Oleh karena itu inisiatif DPR di dalam melakukan revisi terhadap Undang-Undang Minerba ini kami anggap sangat baik," ujarnya.
Sementara itu, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mengkritisi beberapa pasal revisi Undang-Undang Minerba RI.
Perwakilan PP Muhammadiyah, Syahrial Suandi menguraikan beberapa pasal yang dikritisi yakni: Pertama, Pasal 17A dalam Draf RUU Minerba mengenai pemerintah yang menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan selama tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
PP Muhammadiyah menilai, pasal tersebut kurang sesuai dengan fakta yang ada di lapangan, dimana masih sering terdapat konflik antara wilayah pertambangan dengan berbagai wilayah lain termasuk kehutanan, lingkungan, pertanian, hingga tata ruang.
"Sebagaimana kita pahami, barang tambang itu adalah diberikan Allah kepada kita tanpa bisa memilih dimana dia beradanya. Dia bisa berada di tengah hutan, dia bisa berada di gunung, tapi dia juga bisa berada di pantai dan di laut," tegasnya.
Kedua, diperlukan kajian lebih lanjut terhadap arti dari tambang rakyat yang juga disebutkan dalam draf RUU Minerba yang diterima oleh pihaknya.
Syahrial menilai, pertambangan rakyat yang ada saat ini masih sulit untuk dibedakan dengan pertambangan ilegal yang juga sudah menjamur.
"Sehingga kadang-kadang bagi kami, atau bagi kita semua, agak sulit nantinya sewaktu berhadapan, ini kita berhadapan dengan tambang benar, tambang rakyat benarkah? Ataukah bukan? Sehingga itu akan memudahkan di dalam pembinaan lebih lanjut nantinya," tambahnya.
Ketiga, Pasal 51A ayat 2 butir B draf RUU Minerba. Pasal itu menjelaskan perihal pemberian konsesi tambang pada perguruan tinggi dengan minimal memiliki akreditasi B.
Syahrial menilai, tidak semua perguruan tinggi memiliki program studi pertambangan yang komprehensif untuk bisa mengelola pertambangan di dalam negeri.
Keempat, Pasal 51B draf RUU Minerba yang dinilai akan memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas kepada badan usaha swasta di Indonesia.
Sebaiknya, kata Syahrial, pemberian prioritas WIUPK oleh pemerintah itu sebaiknya diutamakan untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Kenapa demikian? Diserahkan kepada swasta apalagi PMA juga utang juga jatuhnya ke bank nantinya. Saya pikir ini pemikiran kami," katanya.
Kelima, Pasal 169A ayat 5 draf RUU Minerba yang isinya perihal pemegang IUP sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian untuk komoditas tambang batu bara yang telah melaksanakan kewajiban pertambangan diberi perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan.
"Ini menurut kami perlu kita coba lihat apakah seumur tambang habis itu atau seumur dari kontrak atau perjanjian yang diberikan oleh pemerintah. Karena kalau kami lihat disini tidak ada batasan sampai kapan dia, yang penting dia mengajukan perpanjangan sejauh mana evaluasi sama-sama kita pahami. Jadi kalau menurut kami ini perlu ada pembatasan disitu," paparnya.
Keenam, perlu ada kajian lebih lanjut terhadap Pasal 133D draf RUU Minerba perihal tumpang tindihnya UU yang berlaku sebelumnya terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dicabut dan dikembalikan pada negara.
"Karena kegiatan masalah tumpang tindih begini itu menjadi masalah yang cukup lama sampai sekarang belum ada penyelesaian terbaiknya," tandasnya.
Sebelumnya Senin (20/1/2025) malam, Baleg DPR RI menyetujui revisi UU Minerba menjadi usul inisiatif DPR untuk dibawa ke agenda rapat paripurna pada Selasa (21/1/2025).
"Apakah hasil penyusunan revisi UU tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dapat diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan?" ujar Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan.
Rapat penyusunan draf revisi UU Minerba untuk diusulkan menjadi inisiatif DPR berlangsung dalam satu hari. Sebagian besar anggota Baleg DPR baru mendapatkan naskah akademik revisi UU Minerba 30 menit sebelum rapat pleno yang digelar sekitar pukul 10.30 WIB pada hari yang sama.
Revisi UU Minerba perubahan keempat bersifat kumulatif terbuka, sebab Undang-Undang Minerba sudah empat kali diuji di Mahkamah Konstitusi dan dua pengujian dikabulkan bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Menindaklanjuti putusan MK yang bersifat final dan mengikat, DPR pun melakukan revisi terhadap UU Minerba.
Akan tetapi, selain merevisi UU Minerba sebagaimana yang diperintahkan oleh MK, DPR juga memasukkan sejumlah substansi ke draf RUU Minerba, dengan alasan kebutuhan hukum.
Sumber: Antara/cnbcindonesia.com