Penumpang Gelap ke Tembilahan (Bagian I)

 

Oleh: Taufik Arbain
Ketua Dewan Kesenian Kalsel, dosen FISIP ULM Banjarmasin


BORNEOTREND.COM - Tiga pemuda dari Kampung Bakarung Kandangan (Hulu Sungai Selatan saat ini), dengan semangat membara bergegas meninggalkan kampung menuju pelabuhan perahu layar di sekitar muara Banjarmasin tahun 1917-an.  

Tahun-tahun itu adalah masa-masa kehidupan yang sulit, bercocok tanam kebanjiran, ladang sering ditimpa kebakaran hingga sempat menjadikan sagu sebagai makanan keseharian. Banyaknya pemuda dan mereka yang berkeluarga keluar hulusungai menjadi cerita yang sangat menarik hati bagi para pemuda kampung, apalagi ada yang merantau lebih awal datang dengan membawa cerita keberhasilan dari Semenanjung Sumatera dan Malaya kemudian mengajak serta keluarga. 

Cerita ini mirip yang ditulis oleh peneliti Lesley Potter (2000), para perantau Banjar yang datang ke Sumatera beberapa gelombang mungkin ada yang sebelum 1700 (masa perang, politik kerajaan) termasuk yang turut menjadi pekerja penebang kayu membuka perkebunan tembakau tahun 1863 , dan gelombang perantau berikutnya tahun 1900 masa susahnya kehidupan di hulusungai, atau riset Arbain (2004) Orang Hulusungai di Kahayan Kuala sekitar 1930-an.

Tiga pemuda itu kakak beradik yakni Matkasan, Matlima dan Tukacil, dua saudara lainnya Ungkal dan Syukur tetap tinggal di Kampung Bakarung, mungkin menjaga orangtuanya. Umur ketiga pemuda itu diperkirakan 20-25 tahunan. Tidak ada perbekalan berarti dibawa ketiga pemuda itu kecuali sedikit uang, dan sejumlah pakaian seadanya cukup satu babatan tapih bertiga, sisanya adalah semangat merantau untuk memperbaiki nasib sebagaimana cerita yang mereka dengar sebelumnya baik dari orang Kelua, orang Alai, dan orang Amandit sendiri. Soal sangu tidak tercerita apakah karena menjual lahan karet atau hasil menjual karet, atau hasil gadai barang berharga, atau menjual sepeda bagi mereka yang sedikit berpunya.

Tiga pemuda itu di kampung sudah mendapatkan informasi bagaimana cara menuju Tembilahan meniti dari satu pelabuhan ke pelabuhan pulau lain. Mereka mendapati ada pelayaran menuju Jakarta dari Banjarmasin, mereka juga menyaksikan banyaknya penumpang lain menuju Jakarta dari orang-orang Banjar yang memiliki perjalanan yang sama menuju Kuala Tungkal Jambi dan Tembilahan Riau. Beberapa hari di sekitar pelabuhan Muara Banjar hanya menyaksikan orang-orang berangkat berlayar, lapar dan hauspun dirasakan, sesekali pula maaambil upah (bekerja sambilan) guna menghemat duit yang tersisa sampai ke Tembilahan. 

Bagi tiga pemuda kakak beradik ini, suka duka bersama saudara tak mengapa. Menaguk liur menyaksikan orang makan minum adalah hal biasa, tetapi balik ke hulusungai adalah hina. Justru berbalik akan mendapatkan cercaan dari sanak saudara. 

Tiga pemuda kakak beradik tadi mendapati perahu layar yang akan bertolak ke Jakarta mengangkut penumpang dan barang. Ada juga kapal yang di-handle Pemerintah Hindia Belanda, atau kapal yang dimiliki saudagar Banjar yang membawa atap sirap, kayu ulin dan berniaga kopra sampai ke Tembilahan. Konon tiga pemuda kakak beradik ini memilih naik perahu layar kapal Bugis. Tidak mmeilih pelayaran yang menyisiri pulau Kalimantan kemudian menyeberang pulau Bangka Belitung Hingga menyisir utara semenanjung Sumatera .

Sebelum kapal bertolak ,mereka menjadi buruh pelabuhan yang mengangkat barang-barang bawaan ke perahu layar. Mengangkat barang sambil berdesakan dengan para penumpang yang berebut menaiki perahu layar. Ada yang hanya menuju Jakarta, ada juga yang melanjutkan ke Kuala Tungkal. Tiga pemuda kakak beradik tadi tunai mengambil upah (buruh) mengangkut barang ke perahu layar dan turut serta dalam pelayaran. 

Tiga pemuda kakak beradik ini dalam pelayaran mendapati siang dan malam, merasakan deburan ombak dan dinginnya angin. Tatkala malam tidur seakan berbantalkan ombak berselimutkan angin. Tekad yang besar merantau, lapar sehari-dua pun mereka tahan. Jikalau ada makanan, berbagi bertiga menjadi kebiasaan. Jikalau ada pengganggu, pantang tidak melawan. Kandangan Cing ai!!! Tradisi Banjar jika sudah melangkahkan kaki meninggalkan rumah, pantang berpaling ke belakang, karena shalawat Nabi telah dibacakan, hidup mati urusan Tuhan.  

Dr. Taufik Arbain, M.Sc

(diceritakan generasi ketiga Matkasan, Januari 2025). 

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال