![]() |
Ilustrasi: Kapal pelayaran antarpulau zaman dahulu menggunakan pembangkit tenaga uap. (Foto: nett) Oleh: Taufik Arbain |
BORNEOTREND.COM - Tiga pemuda kakak beradik hanya bisa memandangi laju perahu Bugis yang melanjutkan perjalanan mengarungi lautan menuju Kuala Tungkal. Pikiran mereka berkecamuk, adakah lagi kapal yang akan singgah di Pelabuhan Batavia untuk melanjutkan ke Kuala Tungkal?
Pada tahun itu sudah ada rute l pelayaran Banjarmasin menuju Kuala Tungkal dan Tembilahan baik Kapal “De Eandracht, dan “ De Vriendcchap” kapal uap yang dioperasionalkan Perusahaan Belanda, NV.Stoomvaart Maatschappij serta Kapal Uap “S.S. Banjarmasin” yang dioperasionalkan oleh Perusahaan Inggris yang rata-rata berkapasitas muatan penumpang sekitar 100-200 orang. Namun demikian, tiga pemuda kakak beradik dari Kandangan ini tidak memilih menaiki kapal-kapal tersebut, karena harus membayar ongkos yang mahal dan petugas kapal yang sangat ketat mengawasi penumpang sehingga lebih memilih kapal perahu layar Bugis, meski harus terdampar di Bandar Batavia. Bagi orang Banjar Hulusungai yang lain yang memiliki ongkos cukup tentu menaiki kapal Perusahaan Belanda dan Perusahaan Inggris itu, sebagaimana mereka saksikan di Pelabunan Muara Banjar.
Sebenarnya kepergian mereka meninggalkan kampung, selain karena cerita di tanah rantau akan bisa merubah nasib dan kehidupan, juga karena ramainya orang-orang baik muda maupun tua melakukan “madam” melepaskan diri dari pekerja rodi dan pajak Kerajaan yang dibebankan pada rakyat. Pasca kalah perang Banjar-Barito tahun 1850-an sampai tahun 1900-an melahirkan jiwa-jiwa pemberontakan.
Prinsip “lebih baik putih mata, daripada putih tulang” bermakna pantang diperintah Belanda dan Raja yang dibonekakan penjajah. Tahun-tahun saat itu pilihan meninggalkan kampung ada yang menempuh ke arah barat menuju Kalimantan, Semenanjung Sumatera dan Semenanjung Malaya. ada juga yang memilih menuju arah timur ke Kawasan Kerajaan Kutai Kertanegara melewati pipa-pipa minyak buatan Belanda. Kata orang Kalua “angkat bak” jika bepergian meninggalkan kampung sekataraan /sekeluarga (Arbain, 2014).
Tiga pemuda kakak beradik dari Kampung Bakarung Kandangan ini, bukanlah generasi pejuang yang kalah perang meninggalkan kampung, atau pekerja kontrak yang dibawa Belanda membuka lahan perkebunan tembakau di Deli Sumatera Utara tahun 1860-an, tetapi orang jaba yang ingin memperbaiki nasib dan melepaskan diri dari kerja rodi dan dari pajak kepala.
Pelabuhan Bandar Batavia selama hampir 3 minggu menjadi saksi tiga pemuda kakak beradik ini bertahan hidup. Menjadi buruh pelabuhan dan atau pekerjaan apapun guna mendapatkan ongkos lagi ke Tembilahan adalah pilihan. Tidak gampang bertahan hidup di Bandar Batavia, apalagi orang baru yang tidak memiliki sanak saudara. Namun tiga pemuda kakak beradik tetap tegar dan saling menjaga satu sama lain. Ada orang baik hati memberikan pekerjaan menjadi buruh angkut Pelabuhan, atau pekerjaan apa saja yang bisa mereka lakoni sepanjang halal. Mereka pun selalu mengingat pesan orangtua mereka Datu Bulallah yang selalu memberikan pesan,” bisa-bisa mambawa awak di kampung urang!”(pandai-pandai membawa diri di kampung orang!).
Dari tiga pemuda kakak beradik itu, hanya Matkasan yang memiliki kemampuan cukup jika berhadapan dengan orang-orang. Matkasan pandai bergaul dan berdiplomasi sehingga mudah mendapatkan relasi termasuk mendapatkan pekerjaan. Terkadang mereka bersenda gurau dengan orang-orang yang ada di sekitar pelabuhan sebagai sesama buruh serabutan. Berbagi tembakau sebagai tanda pertemanan. Sedangkan Matlima dan Tukacil lebih tugul (totality) dalam menyelesaikan pekerjaan, hal ini menumbuhkan kepercayaan setiap pekerjaan yang diberikan oleh orang lain. Setidaknya selama 3 minggu di Pelabuhan Bandar Batavia tiga pemuda kakak beradik ini seperti saling memainkan peran, siapa yang berurusan dengan orang lain sebagai pembuka kisah, siapa yang mengerjakan kerja perintah.
Dalam hal lain, Matkasan lebih sigap dan berani berhadapan dengan orang lain. Hal ini pula menjadi bagian “benteng” untuk tidak diperlakukan buruk oleh orang lain saat menginjak kaki di tanah orang. Musuh tidak dicari, tetapi jika berlawan tidak akan lari. Sebagaimana tradisi Banjar jika merantau, tentu saja tiga pemuda kakak beradik ini sudah “sasak hampadal” dan “mandi barazah ”, selain bacaan-bacaan mantra yang diajarkan Tuan Guru Haji di kampung.
Dalam istirahat menjelang malam, saat bintang gemintang menaik langit, mereka mengingat pesan dan berharap doa dari orang tua. Sesekali ada canda dan tawa, antar mereka bertiga mengisahkan apa yang terjadi di siang hari saat bekerja. Atau mereka banyak melihat tulisan-tulisan besar beraksara latin, namun apa dikata mereka tidak mampu membaca. Tiga pemuda kakak beradik ini pun tidak bisa membaca latin, kecuali membaca aksara Arab gundul ( Arab melayu), berkat tradisi mengaji setiap habis magrib. Andai kata ada tulisan dangerous (berbahaya) pada tempat tertentu, pun akan mereka dekati, untungnya masa itu Pemerintah Belanda menampilkan gambar tengkorak, sebuah pesan efektif bagi warga jajahannya agar tidak celaka.
Boleh jadi kondisi mereka seperti marista (kesusahan) di pelabuhan bandar Batavia, tetapi bagi tiga pemuda kakak beradik ini menjadi ujian dan suka cita. Cerita-cerita keberhasilan melakukan madam, menjauh dari kampung sebagai semangat membara, menjadi petarung tangguh berkelana adalah cita-cita. “ Wani manimbai lunta, wani jua manajuni”, peribahasa yang selalu mereka ingat.
Tubuh mereka sandarkan di antara dinding-dinding gudang pelabuhan, sembari mencari tahu jalan berlayar ke Tembilahan. Sisa wadai (jajanan kue) di sore hari mereka santap bersama di malam hari. Penjual sate pikulan orang Madura pun paham, jika tiga pemuda kakak beradik ini membeli sate ayam, maka mesti banyak lontongnya, 5 tusuk satenya dan dipastikan banyak kuah bumbu kacangnya. Dalam siang menanam sabar, dalam malam menanam keikhlasan.
Uang yang terkumpul dirasa sudah cukup ongkos berlayar ke Tembilahan. Tiga pemuda kakak beradik ini, memastikan kapal atau perahu apa ditumpangi. Bagi Tiga pemuda kakak beradik ini, kekurangan ongkos hingga “dibuang” di Pelabuhan Bandar Batavia, cukup menjadi pengalaman dan pelajaran agar tidak dibuang lagi di Kuala Tungkal. Rupanya mereka sudah mendengar info bahwa Kapal atau perahu menuju Tembilahan akan transit di Kuala Tungkal, karena ada penumpang yang akan bersinggah di sana.
Malam itu, nampaknya keberuntungan berpihak kepada. Kapal/perahu layar datang dari Banjarmasin sudah merapat di Pelabuhan Bandar Batavia. Matkasan dan Matlima bergegas menaiki ke kapal menemui sang nakhoda kapal. Tukacil menunggu di pojokan gudang sembari menjaga barang bawaan. Sepintas nakhoda bercakap-cakap dengan anak buahnya berbahasa Banjar, terkadang inguh Bakumpai. Sah! Kapal saudagar Banjar, tertancap dibenak Matkasan dan Matlima, bahwa akan mudah bernegosiasi untuk keberangkatan ke Kuala Tungkal.
Konon kapal-kapal besar masa itu lebih banyak dimiliki saudagar dari Muara Banjar dan Bakumpai yang memang memiliki tradisi hidup di daerah sungai-sungai dan kerap berlayar menyisiri pulau Kalimantan bagian Selatan ke arah barat dan timur. Apalagi pembuatan perahu dan kapal-kapal berlayar di laut lepas ada di sepanjang muara Sungai Barito.
Tiga pemuda kakak beradik bukan main riang gembira. Negosiasi keberangkatan sudah disepakati besok pagi-pagi kapal akan berangkat, hanya saja rupanya kapal/perahu itu hanya sampai di Kuala Tungkal saja. Bagi mereka tak mengapa jika harus transit di Kuala Tungkal, sebab sudah berpengalaman transit selama 3 minggu di Pelabuhan bandar Batavia. Warung-warung didatangi, siapa tahu ada masih tersisa hutang makan. Teman-teman di pelabuhan disambangi untuk meminta doa dan maaf kerelaan.
Sesekali Tukacil memandangi langit, malam itu pas bulan purnama, tak sabar lagi menghitung waktu dan menanti ayam berkokok. Matkasan mengajak Matlima dan Tukacil segera naik ke Kapal, agar bersiap dan tidur di dalam kapal sambil menunggu fajar. Mereka bertiga memilih duduk di bagian buritan, karena tempat itu yang tersisa untuk penumpang naik belakangan.
Tak disangka ayam pun berkokok menunjukkan fajar sudah menyingsing. Ayam berkokok bukan di samping warung langganan dekat Pelabuhan, tetapi ayam berkokok di sangkar perahu layar yang ada di belakang. Tiga pemuda kakak beradik pun terbangun, rupanya seiring kokokan ayam, seiring pula kapal perahu layar menerjang ombak di hadapan. Tiga pemuda kakak beradik memandangi dari kejauhan pelabuhan bandar Batavia, tak berkedip mata sambil mengingat kenangan. Selamat tinggal Batavia, kami akan ke Tembilahan!
![]() |
Datuk TA, Januari 2025 |
(bersambung)