![]() |
Oleh: Noorhalis Majid (Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah, berakibat pada banyaknya pemutusan hubungan kerja, alias PHK. Dampaknya, muncul berbagai keresahan sosial – sekarang saja keluhan atas kebijakan tersebut bermunculan. Satu dua bulan ini mungkin belum terlalu terasa, tapi setelahnya, daya beli menurun, ekonomi melambat, problem sosial meningkat dan entah apa yang terjadi, bila tidak ada stimulus kebijakan yang dapat mengantisipasi dampak lebih luas.
Bahkan viral di media sosial, kritik atas pemberhentian tenaga honorer yang terjadi di berbagai instansi, terutama instansi yang anggaran proyeknya dipangkas lebih besar. Padahal melalui anggaran tersebut honorer dapat dibayar, lapangan kerja diciptakan dan pengangguran dikurangi. Dikarenakan tidak ada lagi anggaran proyek, terpaksa dilakukan “efisiensi” – satu kata yang terasa halus padahal menyakitkan, sebab nyatanya justru “diampihi”.
Apa pentingnya Makan Bergizi Gratis bagi siswa, kalau di rumah orang tuanya di PHK sehingga tidak sanggup lagi memberikan makan pagi, makan malam, dan penghidupan yang layak? Begitulah kritik yang viral di media sosial. Semoga saja kritik tersebut mendapat respon sepantasnya, sehingga tujuan perbaiki gizi bagi siswa, segaris lurus dengan perbaikan penghidupan warga.
Apa yang dilakukan pemerintah daerah? Tentu saja tidak boleh pasrah, apalagi tidak peduli pada kebijakan pemerintah nasional. Pemotongan anggaran mungkin tidak dapat dilawan apalagi ditolak. Namun yang harus diingat, warga terdampak setiap hari berhadapan langsung dengan pimpinan pemerintahan daerah.
Tidak ada cara, kecuali menciptakan berbagai kebijakan lokal, yang dapat mengantisipasi segala dampak ekonomi dan sosial. Misalnya, mendorong jiwa-jiwa entrepreneurship melalui pelatihan dan permodalan, atau gagasan lainnya yang lebih nyata. Sehingga tenaga kerja yang terkena PHK, segera menemukan solusi untuk menjawab penghidupannya.
Di balik segala kesulitan, pasti ada jalan. Asal pemimpin daerah mau berpikir keras mencari solusi, tentu akan lahir kebijakan yang dapat menjawab persoalan. Apalagi bila dilakukan secara pentahelix - berkolaborasi dengan segala potensi lokal, yang memungkinkan solusi terbaik dicetuskan secara arif. (nm)