![]() |
Oleh: Mohammad Effendy (Forum Ambin Demokrasi) |
BORNEOTREND.COM - Menteri Dalam Negeri telah menyampaikan pernyataan bahwa pelantikan Kepala Daerah terpilih hasil Pilkada 2024 yang tadinya dijadwalkan tanggal 06 Februari 2025 diubah menjadi tanggal 20 Februari 2025. Penundaan tersebut antara lain didasarkan kepada pertimbangan untuk menunggu hasil Putusan Sela (dismissal) Mahkamah Konstitusi tentang Perkara Perselisihan Hasil Pilkada.
Sebab, ada permohonan yang ditolak dan ada pula permohoannya yang dapat diteruskan ke agenda persidangan untuk pembuktian lebih lanjut. Pertimbangan tersebut dianggap penting agar kepala daerah yang perkaranya diputuskan ditolak dapat ikut bersama-sama yang lainnya untuk dilantik secara serentak.
Presidendan pihak Kementerian Dalam Negeri juga telah mengagendakan bahwa setelah pelantikan Kepala Daerah secara serentak dilaksanakan, maka kegiatan akan dilanjutkan untuk pembekalan/bimbingan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Jika rangkaian kegiatan dimaksud berjalan lancar, maka praktis pada awal Maret 2025 semua Kepala Daerah terpilih akan mulai melaksanakan tugas jabatannya secara efektif.
Diantara persoalan yang perlu penanganan serius adalah bagaimana mendorong kinerja semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif sembari membenahi secara bertahap perbaikan budaya birokrasi. Hasil pengamatan selama ini dan didasarkan juga pengalaman empirik berinteraksi dengan mereka yang berada dijajaran birokrasi pemerintahan daerah dapat dikemukakan kurangnya kreativitas serta semangat melakukan terobosan pada sebagian aparat birokrasi.
Mereka terpaku pada aktivitas rutin tanpa ada usaha untuk melakukan pengembangan program agar dapat memberi manfaat optimal bagi masyarakat. Alasan umum yang terdengar tentu saja berkaitan dengan keterbatasan anggaran atau kurangnya dukungan kebijakan dari Kepala Daerah. Kondisi tersebut lebih diperparah jika faktor politik menjelang Pilkada ikut mempengaruhi arah kebijakan Kepala Daerah yang baru.
Pimpinan SKPD menunggu dengan hati was-was apakah mereka ikut dimasukkan dalam lingkaran kepala daerah yang baru, atau terpinggirkan karena dianggap sangat loyal terhadap saingan politik sebelum Pilkada. Sebagian dari Pimpinan SKPD memang menunjukkan kedekatan secara personal dengan kepala daerah yang lama atau dengan kelompok yang menjadi saingan politik dalam proses Pilkada, sehingga orang tersebut dianggap sebagai pihak “luar”. Akan tetapi perlu juga dipahami ada banyak orang dalam jajaran di SKPD yang bersikap netral namun karena adanya budaya birokrasi untuk loyal kepada atasan, maka sikap mereka seperti “loyalis”.
Sikap terbaik bagi seorang Kepala Daerah yang baru adalah melakukan kajian secara objektif kinerja semua SKPD, sehingga dapat diketahui orang-orang yang memiliki potensi dan telah bekerja secara profesional. Kajian dimaksud sebaiknya melibatkan pihak luar yang independen sehingga dapat memberikan rekomendasi yang objektif serta menyampaikan kriteria yang tepat bagi orang-orang yang akan didudukan pada SKPD utama dan memiliki benang merah langsung dengan usaha pencapaian visi, misi dan program yang sudah dijanjikan.
Orang-orang yang memiliki potensi berdasarkan basis keilmuan baik yang didapatnya melalui studi formal maupun secara mandiri, ataupun mereka yang memiliki rekam jejak pengalaman pelatihan yang spesifik, pada umumnya menujukkan kinerja yang lebih profesional. Mereka jarang terlibat dalam intrik-intrik politik pada jajaran birokrasi. Sebaliknya mereka yang terbiasa mengandalkan kedekatan personal dan menggunakan hubungan secara politik maka orang-orang seperti itu tentu sulit menunjukkan kinerja yang optimal terutama dalam pelaksanaan tugas-tugas administrasi pemerintahan.
Semuanya tentu tergantung kepada figur Kepala Daerah terpilih termasuk motivasinya ikut berkompetisi dalam Pilkada. Figur kepala daerah yang didorong untuk ikut memberikan kontribusi bagi pembangunan dan pengembangan banua, maka ia akan melakukan seleksi secara jernih untuk memilih mereka yang akan membantunya. Kriteria utama yang akan dijadikan patokan adalah bagaimana “pembantunya” tersebut akan bekerja sehingga selama kepemimpinannya akan dapat mewariskan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat, sehingga akan selalu dikenang dengan penuh kebanggaan.
Sebaliknya, figur Kepala Daerah yang ikut Pilkada hanya karena memiliki modal besar atau difasilitasi oleh orang yang memiliki modal besar maka ia tidak akan memberikan perhatian serius terhadap program apa yang akan dilaksanakannya. Ia tampil gagah dalam acara serimonial, namun ia tidak memahami apalagi menjiwai konsep pidato yang dibacanya.
Jika ini yang terjadi maka kita hanya dapat memperbanyak ‘doa”, semoga ada keajaiban alam.