![]() |
RAPAT: DPRD Kabupaten Kotabaru menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) membahas proyek jalan di Desa Lalapin yang belum rampung – Foto Ist |
BORNEOTREND.COM, KALSEL - DPRD Kabupaten Kotabaru menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Senin (3/2/2025) terkait proyek peningkatan jalan di Desa Lalapin, Kecamatan Hampang, yang mengalami masalah besar.
Proyek yang semula dijadwalkan selesai pada 2024 tersebut terbengkalai dan meninggalkan sejumlah utang serta ketidaksesuaian dalam pekerjaan.
Proyek pengaspalan jalan sepanjang tiga kilometer di Desa Lalapin, yang dimulai pada 2024, hingga kini belum rampung.
Kepala Desa Lalapin, Wijo Yanto, menyebutkan bahwa selain fisik pekerjaan yang terbengkalai, terdapat masalah serius terkait pembayaran yang belum selesai kepada beberapa pihak yang terlibat dalam proyek tersebut.
"Ada sisa 1,3 kilometer dari 3 kilometer, yang lebih parah ada sangkutan dengan para pihak yang belum diselesaikan," ungkap Wijo.
Proyek ini dilaksanakan oleh PT Kurnia Indah Dwiaji, sebuah perusahaan asal Bekasi, dengan waktu pelaksanaan 154 hari sejak 28 Maret hingga 28 Agustus 2024. Namun, setelah kontrak ditandatangani, pekerjaan berjalan lambat bahkan pada bulan pertama tidak ada kemajuan signifikan.
Kepala Dinas PUPR Kotabaru, Supraptri Tri Astuti menjelaskan bahwa meskipun proyek ini merupakan salah satu yang pertama dilelang, kendala sudah muncul sejak awal.
"Kami tidak mengeluarkan uang muka untuk mengantisipasi masalah, karena kami melihat tidak ada niat kuat dari kontraktor untuk melanjutkan pekerjaan," ujar Supraptri. Ketika kontraktor akhirnya mulai bekerja, banyak pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi.
Akibatnya, kontrak yang sempat diperpanjang tiga bulan akhirnya dibatalkan, dengan pembayaran hanya mencapai 67,59 persen dari total anggaran Rp 7,5 miliar.
Sementara itu, Edwin selaku pelaksana proyek mengungkapkan perusahaan angkat tangan setelah tidak menerima pembayaran uang muka sehingga ia diminta mengambil alih pekerjaan.
Lalu ia pun menggarap proyek tersebut dengan menggandeng beberapa warga setempat sebagai pemodal maupun penyuplai material dengan sistem pembayaran di belakang.
"Progress pertama sekitar 38 persen, uang pencairan langsung saya berikan kepada mereka," katanya.
Sayangnya kemudian pekerjaan tidak berjalan lancar lantaran pihaknya kesulitan mendapatkan aspal sehingga kontrak diputus dengan realisasi akhir hanya 67,59 persen.
Drama berlanjut saat ia bermaksud mencairkan sisa pembayaran karena Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) ternyata sudah diambil oleh pihak perusahaan, bahkan uang sudah cair.
Menurut Edwin, ia berutang Rp 500 juta lebih kepada penyuplai material, namun direktur utama perusahaan yang memegang uang menolak memberikannya.
"Saya sudah lapor polisi tapi belum di-LP-kan," ucapnya.
Menanggapi ini, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kotabaru Awaludin mengatakan pihaknya tak bisa ikut campur dalam masalah utang-piutang karena itu merupakan urusan kontraktor dengan subkontraktor.
Namun terkait penyempurnaan pekerjaan, Dinas PUPR bisa menganggarkan kembali di APBD Perubahan dan pihaknya sangat mendukung proyek yang belum diselesai itu dilanjutkan.
"Kita tahu di Desa Lalapin itu perlu adanya peningkatan jalan untuk membantu aspek ekonomi," kata Awaludin.
Di sisi lain, ia juga mendorong perbaikan proses lelang proyek dengan lebih memperketat seleksi sehingga perusahaan yang terpilih sebagai pemenang benar-benar bertanggung jawab.
Awaludin menegaskan lelang memang bersifat nasjonal dimana siapapun bisa ikut, namun demikian pokja juga perlu lebih selektif dalam menilai perusahaan yang bonafit.
"Saya sudah minta Komisi III untuk rapat dengan ULP agar jangan sampai hal ini terjadi lagi," tegasnya.
Penulis: Nazat Fitriah