Skenario Putusan MK tentang Pilkada Banjarbaru

 


Oleh: Mohammad Effendy 
(Forum Ambin Demokrasi)


BORNEOTREND.COM - Mencermati proses pemeriksaan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) berkenaan dengan Pilkada Kota Banjarbaru terdapat beberapa hal menarik perhatian kita semua sebagai warga banua. Tanya jawab antara Panel Hakim MK dengan para pihak terutama KPU Banjarbaru membuat dahi kita berkerut. 

Jawaban dan penjelasan KPU Banjarbaru dengan mengemukakan alasan keterbatasan waktu dan juga anggraran untuk mencetak surat baru baru, tentu sulit untuk diterima karena tidak menggambarkan aspek rasionalitas secara normatif baik dalam perspektif teori pembuktian maupun dari aspek yang berkaitan dengan tahapan penyelenggaraan Pilkada. 

Begitu juga dengan argumentasi KPU Banjarbaru yang menyatakan bahwa surat suara pemilih yang mencoblos paslon nomor urut 2 dinyatakan tidak sah karena paslon tersebut sudah didiskualifikasi, mendapat respon tajam dari Panel Hakim MK. Dikejar dengan rangkaian pertanyaan yang menukik ke substansi, membuat KPU sesak nafas. KPU kan yang melakukan diskualifikasi, tapi mengapa KPU membiarkan surat suara masih mencantumkan foto mereka yang didiskualifikasi tersebut, dan kemudian kenapa KPU menyatakan bahwa warga pemilih yang mencoblos foto tersebut surat suaranya “Tidak Sah”.

Saat KPU Banjarbaru memutuskan untuk melakukan tindakan diskualifikasi, maka seharusnya sudah dipertimbangkan secara matang langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya, mengingat tahapan pilkada sudah hampir mendekati titik finish. Pilkada Banjarbaru hanya diikuti oleh dua paslon, sehingga jika salah satu paslon disikualifikasi maka otomatis pilkada akan berlangsung mengikuti mekanisme “Calon Tunggal”, sehingga surat suara harus dicetak baru.  

Sekiranya KPU membuat terobosan dengan memberikan tafsiran bahwa warga pemilih yang mencoblos foto paslon nomor urut 02 dianggap sebagai pilihan terhadap “kotak kosong”, mungkin Panel Hakim MK masih dapat memahami tindakan KPU, dan alasan keterbatasan waktu serta keterbatasan anggaran dapat diterima secara logis.

Berdasarkan fakta-fakta awal yang terungkap di persidangan MK meski masih belum lengkap, jika kita mencoba memprediksi alur hukum yang akan menjadi pertimbangan MK, maka setidaknya ada 3 (tiga) skenario yang dapat dikemukakan. Pertama, MK memerintahkan untuk dilakukan “penghitungan suara ulang” dengan memberikan panduan agar dihitung secara cermat dan seksama; jumlah suara untuk Paslon nomor urut 01, jumlah suara yang yang dinyatakan tidak sah karena mencoblos Paslon yang didiskualifikasi, dan jumlah suara yang tidak sah karena memang tidak memenuhi syarat keabsahan menurut Undang-Undang/PKPU.

Skenario pertama ini ingin membuktikan secara faktual apakah jumlah suara yang tidak sah karena pemilih yang mencoblos foto paslon yang sudah didiskualifikasi memang lebih tinggi dibandingkan dengan suara untuk paslon nomor urut 01, atau justeru sebaliknya. 

Akan tetapi skenario pertama ini tidak mempertimbangkan suara warga pemilih yang sengaja tidak datang ke TPS karena merasa tidak punya alternatif pilihan. Selain itu jika skenario pertama yang dilaksanakan, maka perlu ada pengawalan dan pengawasan ketat dari semua elemen masyarakat untuk menjaga kotak yang berisi surat suara hasil pilkada sebelum hari penghitungan suara ulang.

Kedua, MK memutuskan untuk dilakukan “pemungutan suara ulang” secara keseluruhan dengan surat suara baru yang menyandingkan foto paslon nomor urut 01 dengan “kotak kosong”. Hal ini tentu dimaksudkan untuk mengakomudasi hak konstitusional warga yang merasa dihilangkan dalam Pilkada 27 November 2024 yang lalu.

Selama ini skenario kedua tersebut sering diputuskan oleh MK dalam kasus adanya fakta terjadinya kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematik, dan masif (TSM), namun terbatas hanya pada wilayah-wilayah tertentu saja. Skenario kedua diputuskan oleh MK untuk memulihkan kepercayaan publik agar pemilu/pilkada dilaksanakan secara “fair” serta menjunjung tinggi asas jujur dan adil.

Ketiga, MK memutuskan agar dilakukan penundaan pilkada dalam rentang waktu 1 (satu) tahun sebagaimana aturan yang berlaku dalam mekanisme “Calon Tunggal” di mana suara kotak kosong lebih tinggi dari paslon kompetitornya. 

Skenario ketiga tersebut tentu didasarkan kepada pertimbangan hukum bahwa pelaksanaan Pilkada Kota Banjarbaru telah melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan salah satunya adalah hilangnya hak konstitusional warga pemilih sebagai pemegang kedaulatan.yang seharusnya dijaga dan dihormati oleh negara.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال