![]() |
Oleh: Ikhsan Alhaque (Ambin Demokrasi) |
BEBERAPA waktu yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan 40 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU Kada) Tahun 2024 (Senin, 24/2/2025). Dalam putusan, MK memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) atau pencoblosan ulang di 24 daerah di Indonesia, antara lain mulai dari PSU sekelas Gubernur Papua di Provinsi Papua, juga PSU Walikota Sabang di Provinsi Aceh Nangroe Darussalam hingga PSU Bupati Pulau Taliabu di Provinsi Maluku Utara. Untuk Kalimantan Selatan tentunya PSU Kota Banjarbaru adalah salah satu diantaranya.
Terjadinya PSU ini menarik disimak dan disikapi lebih mendalam, ikhwal apa yang menyebabkan hal tersebut, bagaimana dampaknya terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politik juga kondisi demokrasi lokal di daerah serta bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan demokrasi Indonesia ke depannya? Uraian berikut mencoba menuliskannya dari sudut pandang seorang yang fakir pengetahuan politik dan demokrasi.
Retak demokrasi lokal
Di bawah kolong langit yang sama, dalam waktu tidak lama sesuai hasil putusan sidang PHPU Mahkamah Konstitusi tanggal 24 Pebruari 2025 lalu, rakyat Indonesia kembali dipanggil ke bilik suara yang dijadwalkan paling lambat mulai dari tanggal 26 Maret 2025 sd maksimal tanggal 23 Agustus 2025. Untuk Kota Banjarbaru, di rencanakan pada tanggal 25 April 2025. Pemungutan Suara Ulang (PSU) itu dilakukan baik sebagian TPS maupun seluruhnya.
PSU disatu sisi bukanlah sekadar ritual demokrasi belaka, tetapi di sisi lainnya mendeskripsikan adanya cermin retak yang memantulkan terjadinya luka-luka dalam sistem berpolitik kita. PSU boleh dikata lahir dari rahim ketidakpercayaan rakyat pemilih: perilaku lancung administratif penyelenggara Pilkada, manipulasi suara dari oknum aparat, atau massifnya intimidasi dan kekerasan yang makin mengotori proses elektoral. Ia seperti bayangan gelap yang mengikuti pesta demokrasi, mengingatkan kita bahwa di balik gemerlap kampanye, masih ada sumur-sumur keraguan yang belum terisi. Adanya pemberitaan media di berbagai platform terhadap skorsing bahkan pemberhentian komisioner penyelenggara Pilkada, membuktikan bahwa PSU lahir dari Pilkada yang sarat masalah.
PSU bukan fenomena baru. Sejak 2015, puluhan daerah mengalami pilkada ulang, dari Aceh hingga Papua. Penyebabnya beragam; kesalahan atau distorsi penghitungan suara, maraknya politik uang secara terang-terangan, hingga intervensi kekuatan oligarki untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang menjadi pecundang adalah bagian sisi gelap dari pesta demokrasi. Namun, di balik teknis prosedural, secara jelas dan nyata, PSU adalah pertanda adanya krisis legitimasi masyarakat. Manakala masyarakat tak lagi percaya pada keadilan sistem, Pilkada berjalan pincang, tetapi demokrasi prosedural harus tetap melaju.
Situasi dilematis seperti tersebut di atas, memiliki dampak yang akan merambat ke segala lini.
Aspek sosial
PSU akan memperdalam polarisasi atau pembilahan referensi politik . Kampanye ulang akan makin menghidupkan kembali "api dalam sekam" di masyarakat, memicu ketegangan antar-kelompok, antar pro cakada yang satu dengan kontra cakada yang lain, atau antara yang anti kotak kosong dengan yang pro kotak kosong dan sebagainya.
Aspek pembangunan daerah
Adanya PSU, otomatis menyedot anggaran daerah walaupun misalkan sudah di antisipasi melalui dana cadangan daerah. Tetapi menurut ibu Ribka Haluk, Wakil Mendagri RI pada saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi 2 DPR.RI tanggal 27 Pebruari 2025 yang lalu, dari 24 daerah yang melaksanakan PSU, hanya 8 daerah saja yang mampu melaksanakannya secara mandiri yaitu: Kabupaten Bungo, Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Magetan, Kabupaten Mahakam Ulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Siak, dan Kabupaten Banggai.
Sedangkan sisanya 16 daerah lainnya perlu subsidi dari APBN dan APBD Provinsi termasuk Kota Banjarbaru dalam kategori ini. Belum lagi dengan adanya gerakan efisiensi sebagaimana termaktub dalam Inpres Nomor 1 tahun 2025, yang mensyaratkan semua jajaran untuk melakukan efisiensi di pelbagai bidang, membuat semua pihak di daerah menghadapi situasi pelik, antara keselarasan pilihan demokrasi dan kelanjutan pembangunan daerah.
Aspek politik lokal
Adanya PSU sudah barang tentuakan makin mengikis kredibilitas penyelenggara pemilu, mengganggu proses pendidikan politik menuju Pileg, Pilpres dan Pilkada yang lebih LUBER dan Jurdil 5 tahun kedepan. PSU juga bisa melahirkan pemimpin yang dianggap cacat legitimasi, pemimpin boneka oligarkhi dan atribut miring lainnya.
Namun, di balik retakan itu, kita berharap tetap ada cahaya harapan. PSU adalah ujian bagi kedewasaan demokrasi kita sebagai bangsa Indonesia, khususnya pada masyarakat daerah yang melaksanakannya. Ia memaksa kita merefleksikan kelemahan sistem: regulasi yang ambigu, pengawasan yang lemah, dan mentalitas "menang atau mati" di kalangan elit. Jika direspons dengan reformasi struktural, seperti penguatan Bawaslu dan KPU serta jajarannya, sanksi tegas bagi pelaku kecurangan, dan edukasi politik kepada semua pihak termasuk partai politik sebagai pemain utamanya, PSU bisa menjadi katalis untuk demokrasi yang lebih inklusif.
Masa depan demokrasi Indonesia tergantung pada bagaimana kita memperbaiki cermin yang retak ini. Di bawah kolong langit yang sama, kita harus memilih: terus berjalan dibawah bayangan kelam atau merajut kembali tenun kepercayaan rakyat bahwa Masa Depan Indonesia tidaklah sesuram yang dibayangkan.
Sebab, demokrasi bukan hanya tentang suara yang dihitung atau hanya angka terbilang, tapi disana ada asa yang dipendam dan masa depan rakyat yang ditambatkan sekaligus juga martabat yang harus dipulihkan. Jangan berputus harap, untuk Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.
Penulis: pegiat Ambin Demokrasi