Donald Trump dan Sepakbola: Politik Transaksional di Lapangan Hijau Kekuasaan

 


Oleh: Ikhsan Alhaque
(Ambin Demokrasi)


ADA hal yang menarik di hari kemaren, Sabtu (8/3/2025), CNN Indonesia memberitakan persamuhan antara Presiden USA Donald J.Trump dengan Presiden Asosiasi Sepakbola Dunia-FIFA, Gianni Infantino di Gedung Putih-Washington DC terkait kesiapan USA sebagai salah satu host Piala Dunia.

Dalam sesi diskusi tersebut, Donald Trump bertanya kepada Infantino negara mana saja yang memiliki peluang menjadi kampiun World Cup 2026. Presiden FIFA menjawab, bahwa ada 5 negara yang berpeluang menjadi juara dunia sepakbola, yaitu Argentina (juara bertahan), Brasil, Inggris, Jerman, dan Spanyol. Mendengar jawaban itu, tampaknya Trump tak puas atas jawaban Infantino. "Bisakah USA juara?," cecar Trump kepada Infantino. Infantino pun terang-terangan menyebut tim asuhan Mauricio Pochettino tersebut memiliki sejumlah modal untuk juara Piala Dunia Sepakbola 2026.

Sambil meyakinkan Trump, Infantino menyebut USA tentu bisa juara dengan dukungan para suporter. Para pemainnya saat ini banyak berada di berbagai tim terbaik dunia. Kutipan singkat diskusi Trump dan Infantino di atas tidak bisa dilihat sebagai ramah-tamah maupun basa-basi ringan belaka antara dunia tokoh yang berbeda profesi. Apalagi bagi Trump. Semua hal yang keluar dari mulutnya tentu ada harganya.

Donald Trump, adalah pribadi yang unik. Di satu sisi dia adalah sang showman, yang dari mulutnya bisa menyemburkan badai kata-kata kepada lawan bicaranya. Sikapnya meledak-ledak bak kembang api, blak-blakan, provokatif dan tak sedikit kontroversi. Ia berselancar di panggung politik USA dengan logika "America First", sebuah mantera sakti yang mengguncang arus tradisi dan bergemuruh dalam badai retorika.

Di sisi yang lain, dengan naluri pebisnis ulung yang dimilikinya, Trump tentunya tidak ingin menjadi penonton biasa pada saat negerinya bersama Kanada dan Meksiko, menghelat kontestasi akbar olahraga paling favorit sejagat; Piala Dunia Sepakbola 2026. 

Baik di panggung politik maupun gelanggang sepakbola, Trump berimajinasi dirinya bermain layaknya "striker" yang tak kenal off side. Ketika mendengar omongan Presiden FIFA menjawab pertanyaannya tentang peluang AS juara Piala Dunia 2026, Trump mungkin sedang membayangkan satu hal: "bagaimana cara menang, dan tentunya menangnya dengan cara Trump"...!!! 

Momen pertemuan dua tokoh diatas itu adalah potret sempurna gaya kepemimpinan Trump: transaksional, blak-blakan dan penuh kalkulasi. Sejak 2017 masa jabatan perdana Trump sebagai presiden Amerika, ia mengubah politik USA menjadi "reality show" yang hiruk-pikuk hingga berdarah-darah. 

Dari semboyan kampanye Presiden periode pertamanya (2016) "Make America Great Again" (MAGA) yang menekankan kebangkitan ekonomi, kebijakan proteksionis, dan nasionalisme Amerika hingga di periode keduanya (2025), Trump mengubah slogannya menjadi "Keep America Great" (KAG), yang menyoroti pencapaiannya selama menjabat, terutama di bidang ekonomi dan kebijakan luar negeri dalam bentuk kebijakan "America First". 

Diksi Trump ini bukan sekadar slogan, tapi pisau yang sengaja ia hunus ke leher politik multilateralisme dunia, mulai keluar dari Perjanjian Paris hingga menantang NATO. Bagi Trump, yang hidup matinya adalah berniaga, segala hal adalah tidak lepas dari kata "deal": apakah itu terkait diplomasi, perdagangan, bahkan olahraga sekalipun. Tak heran jika Infantino harus meyakinkannya, bahwa kemenangan AS di Piala Dunia 2026 bukan hanya soal skill, tapi juga dukungan penuh semua pihak. Apa makna simbolik dari perkataan Infantino itu, hanya Infantino, Trump dan Tuhan saja yang tahu. Persis seperti skenario politik Trump : untuk menang memang memerlukan panggung yang dikontrol ketat, dari pengusaha, penonton hingga buzzer sosial media.  

Trump adalah maestro disrupsi verbal. Setiap cuitannya di Twitter (X)-nya adalah ibarat granat yang meledakkan agenda media, persis yang ia tunjukkan saat pembicaraannya dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy. Meledak-ledak dan intimidatif dan tentu live. Trump bicara bukan untuk meyakinkan, tapi untuk mendominasi, mirip cara pelatih sepakbola yang meneriaki wasit demi mengalihkan perhatian dari kelemahan timnya. Saat Trump bertanya pada Infantino, kita bisa membayangkan nada yang sama: to the point, tanpa filter, dan penuh hasrat untuk menang besar.  

Kebijakan Trump tentunya akan meninggalkan bekas di setiap sudut dunia. Perang dagang USA-Tiongkok turut menggoyang pasar ekspor negara-negara dunia termasuk Indonesia. Sementara sikapnya yang skeptis pada perubahan iklim turut memperlambat transisi energi global. Namun, seperti tim sepakbola yang dijanjikan Infantino, Trump paham kekuatan soft power.

Piala Dunia 2026 adalah oktagonnya untuk membangun legasi: menyatukan Amerika Utara lewat sepakbola, sambil mengukir citra USA sebagai pusat segala hal —bahkan olahraga yang tak pernah benar-benar ia kuasai.  

Trump mungkin tak akan pernah jadi pelatih sepakbola, tetapi politik adalah lapangan permainannya. Setiap langkahnya —dari ruang oval Kantor Presiden USA hingga lobi kantor pusat FIFA di Zurich, Swiss— adalah strategi untuk mencetak gol di gawang sejarah. Pertanyaannya: apakah dunia akan bertepuk tangan, atau kemudian hari justru memberikan kartu merah buat seorang Trump yang banyak hal bersifat antagonis? Sebab, seperti sepakbola, politik juga punya aturan, dan Trump selalu bermain di tepi regulasi pelanggaran.  

Di akhir kata, Piala Dunia 2026 bukan sekadar pertandingan semata. Ia adalah juga metafora : selama kekuasaan adalah permainan (Power is a Game Strategy), Trump akan tetap menjadi pemain yang tak bisa diabaikan —meski kadang, ia lupa bahwa tidak semua gol bisa dicetak dengan tangan.

Penulis: pegiat Ambin Demokrasi


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال