![]() |
Komisi I DPR membahas revisi UU TNI – Foto detik.com |
BORNEOTREND.COM, JAKARTA - Revisi Undang-Undang TNI resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 setelah mendapat persetujuan DPR. Meskipun demikian, sejumlah organisasi sipil dan tokoh politik menanggapi dengan penolakan, mengkhawatirkan potensi meluasnya kewenangan TNI serta ancaman terhadap demokrasi.
Pada pertengahan Februari 2025, DPR RI menerima surat presiden (surpres) mengenai penunjukan wakil pemerintah untuk membahas revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Surat tersebut menetapkan revisi UU TNI masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025, yang disetujui dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, pada Selasa (18/2).
Adies Kadir menyatakan bahwa revisi tersebut mendapat persetujuan penuh dari anggota DPR untuk dimasukkan dalam program legislasi nasional.
"Kami meminta persetujuan rapat paripurna hari ini terhadap RUU tersebut diusulkan masuk pada program legislasi nasional prioritas tahun 2025, apakah dapat disetujui?" ujar Adies yang kemudian mengetuk palu persetujuan.
Namun, meskipun revisi UU TNI telah disetujui oleh DPR, sejumlah pihak, termasuk anggota DPR dan organisasi masyarakat sipil, mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap potensi dampak dari perubahan tersebut.
Anggota Komisi I DPR, Frederik Kalalembang dari Fraksi Demokrat, menyoroti usulan perpanjangan batas usia pensiun prajurit TNI yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi saat ini.
Ia mengungkapkan bahwa banyak perwira TNI yang tidak mendapat penugasan atau "nonjob", sehingga perlu adanya kajian lebih lanjut terkait wacana perpanjangan usia pensiun prajurit TNI hingga 60 atau 62 tahun.
Sementara itu, TB Hasanuddin, anggota Komisi I dari Fraksi PDIP, menyuarakan keprihatinannya terhadap rencana revisi yang memungkinkan perwira TNI menduduki jabatan-jabatan sipil di luar pos-pos yang selama ini diatur oleh undang-undang.
Menurut Hasanuddin, hal ini berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI seperti yang terjadi pada era Orde Baru, yang dapat membingungkan fungsi dan kewenangan antara militer dan sipil.
Penolakan juga datang dari sejumlah organisasi masyarakat sipil, termasuk Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
KPI menyatakan kekhawatirannya bahwa revisi UU TNI dan Polri bisa mengancam demokrasi, karena memperlebar kewenangan institusi militer dan polisi yang tidak terbatas.
"Sangat mengancam demokrasi. Kewenangan mereka yang rancu dan tidak dibatasi, membuat mereka juga akan semena-mena," kata Sekjen KPI Mike Verawati Tangka.
Kontras juga mengungkapkan penolakan mereka terhadap revisi ini, khususnya terkait dengan kemungkinan perluasan jabatan sipil yang bisa diisi oleh prajurit aktif, yang dinilai akan menambah kewenangan militer dan mengurangi pengawasan terhadap institusi tersebut.
Revisi UU TNI ini juga mendapat kritik karena dianggap tidak menjawab persoalan reformasi sektor keamanan dan justru berpotensi memperbesar peran militer dalam kehidupan sipil.
"Kami meminta untuk dihentikan," tegas Wakil Koordinator Kontras, Andrie Yunus.
Dengan berbagai penolakan yang muncul, proses legislasi revisi UU TNI diperkirakan akan terus menghadapi perdebatan sengit antara pihak pemerintah, DPR, dan berbagai organisasi masyarakat sipil yang mengkhawatirkan dampak bagi demokrasi dan struktur kekuasaan negara.
Sumber: detik.com