![]() |
Oleh: Ikhsan Alhaque (Ambin Demokrasi) |
Di awal era kepemimpinannya, Presiden Prabowo Subianto dihadapkan pada tugas berat: merajut kebijakan baru tanpa melupakan warisan masa lalu. Prabowonomics istilah ngepop yang kerap disematkan media untuk menggambarkan kebijakan ekonominya, mencerminkan upaya menggabungkan semangat nasionalisme almarhum ayahnya Prof. Soemitro Djojohadikusumo, dengan realitas ekonomi global yang dinamis.
Soemitro, ekonom strukturalis legendaris andalan rezim Orba, mewariskan prinsip kemandirian ekonomi dan proteksi sektor strategis. Namun, Prabowo atau Wowo panggilan akrab teman-teman AKMIL-nya membawa sentuhan berbeda, berupa sentralisasi BUMN melalui super holding DANANTARA sebagai “benang baru” untuk menciptakan BUMN raksasa yang diharapkan kompetitif di kancah global. Walaupun kelahiran DANANTARA ini disambut skeptis oleh pasar modal yang ditunjukkannya dengan melemahnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG].
Di sisi lain, program seperti Makan Bergizi Gratis untuk anak sekolah mencerminkan populisme ekonomi ala Prabowo, yang bertujuan mengurangi ketimpangan sekaligus menggalang dukungan politik. Namun, kebijakan ini berhadapan dengan beban utang warisan Jokowi yang mencapai Rp8.000 triliun, ditambah defisit APBN yang harus dijaga di bawah tiga persen.
Walaupun ada yang bilang bahwa untuk membiayai ASTA CITA-nya Prabowo, akan ditomboki dari dana efisiensi dan kalau tidak cukup akan diambil dari SILPA TA.2024 dan juga utang atau sumber-sumber pendapatan lainnya. Namun demikian, di tengah gejolak tantangan global-regional, mulai dari resesi China, konflik Ukraina, hingga transisi energi. Prabowo dituntut cermat memilih prioritas dan pandai mengalkulasi.
Warisan Soemitro terlihat dalam ambisi Prabowo untuk menguasai sektor strategis, tetapi metode yang dipilihnya sangat bertolak belakang. Soemitro menekankan desentralisasi dan pemberdayaan UMKM, sementara DANANTARA justru mengonsolidasi kekuatan BUMN di tangan elite Jakarta. Parahnya, dalam struktur BPI.Danantara terdapat nama-nama orang dekat Prabowo dan terafiliasi oligarkhi seperti : Rosan Roeslani yang juga sebagai Menteri BKPM ditunjuk sebagai CEO. Juga ada Pandu Sjahrir, salah satu petinggi PT Toba Bara dan Dony Oskaria yang juga sebagai Wakil Menteri BUM sebagai Chief Investment Officer. Selain itu terdapat nama Menteri BUMN Erick Thohir yang menjadi Ketua Dewan Pengawas dan Menteri Keuangan Sri Mulyani di jajaran dewan pengawas. Disamping mantan Presiden RI, SBY, Jokowi dan mantan PM.Inggeris Tony Blair dan lain-lain.
Dari sudut ini kita melihat, bahwa risiko monopoli, politisasi, inefisiensi, korupsi dan konflik kepentingan mengintai kinerja BPI Danantara. Ini tentunya publik harus mewaspadai dan tetap kritis menyikapi persoalan ini.
Masa lima tahun kedepan tidaklah lama dalam membangun negeri, kesuksesan Prabowo akan diukur dari kemampuannya menyeimbangkan kontinuitas (seperti proyek IKN dan hilirisasi) dengan pelbagai terobosan yang dilakukan Prabowo.
Apakah benang barunya mampu memperkuat tenun lama, atau justru merusak pola yang sudah terbentuk?
Jawabannya tergantung pada transparansi tata kelola DANANTARA, efektivitas program sosial safety need (pelbagai program subsidi dan MBG), dan taktik diplomasi menghadapi tantangan global. Jika berhasil, Prabowo bisa menjadi penenun ulung yang memadukan tradisi dengan modernitas. Jika gagal, Indonesia hanya akan terjebak dalam paradoks yang tak kunjung usai. Indonedia Masih Cemas.
Penulis, pegiat Ambin Demokrasi