![]() |
Ilustrasi nilai tukar Rupiah melemaah terhadap Dolar AS – Foto Net |
BORNEOTREND.COM, JAKARTA - Nilai tukar rupiah mengalami penurunan signifikan, terlemah dalam sejarahnya dengan melemah sebesar 0,51% ke level Rp 16.635 per dolar AS pada Selasa (25/3/2025) pukul 10.04 WIB. Posisi ini tercatat sebagai yang terburuk sepanjang sejarah, bahkan melewati titik tertingginya pada 23 Maret 2020 yang menyentuh Rp 16.620 per dolar AS. Namun, rupiah belum mencapai posisi terburuk sepanjang sejarah yang tercatat pada 17 Juni 1998, di mana rupiah menyentuh level Rp 16.800 per dolar AS pada intraday.
Pelemahan rupiah kali ini dipicu oleh kembali kuatnya dolar AS. Indeks dolar tercatat berada di level 104,32, terkuat sejak 4 Maret 2025. Penguatan dolar ini banyak dipengaruhi oleh sikap Presiden AS Donald Trump yang lebih berhati-hati dalam menerapkan tarif perdagangan pada 2 April 2025.
Terkait pelemahan Rupiah ini, 5 ekonom ternama Indonesia ikut mengemukakan pandangan mereka mengenai penyebab penurunan nilai rupiah ini. Berikut adalah ringkasan dari masing-masing pandangan:
1. BCA (Bank Central Asia)
Kepala Ekonom BCA, David Sumual, menjelaskan bahwa permintaan dolar AS yang cukup besar menjelang kuartal kedua tahun 2025 menjadi penyebab utama pelemahan rupiah. Permintaan ini terutama dipicu oleh pembayaran utang, dividen, dan outflow (keluar) dana dari pasar saham.
"Masuk kuartal dua, permintaan dolar AS cukup kuat untuk pembayaran utang dan dividen selain outflow dari pasar saham," ujar David.
2. Bank Permata
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan bahwa selain kekhawatiran terkait perkembangan perang dagang yang masih berlanjut, pelemahan rupiah juga dipicu oleh penurunan harga komoditas ekspor utama Indonesia, seperti CPO, batubara, dan nikel dalam beberapa minggu terakhir. Penurunan harga komoditas ini berpotensi memperlebar defisit transaksi berjalan Indonesia.
"Penurunan harga komoditas tersebut mendorong ekspektasi pelebaran defisit transaksi berjalan Indonesia," ungkap Josua.
3. Trimegah Sekuritas Indonesia
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas, Fakhrul Fulvian, menyebutkan bahwa kondisi pelemahan rupiah ini bisa dianggap sebagai overshooting, yakni sebuah situasi di mana nilai mata uang bergerak cepat dan melemah jauh lebih cepat dibandingkan perubahan fundamental ekonomi yang terjadi.
Fakhrul juga memproyeksikan bahwa overshooting rupiah ini bisa mencapai level Rp 16.800, namun tidak akan menyebabkan goncangan signifikan terhadap perekonomian domestik.
"Pelemahan rupiah dalam jangka pendek ini menjadi bantalan perekonomian untuk menghadapi shock ekonomi global," ujar Fakhrul.
4. Bank Danamon
Ekonom Bank Danamon, Hosianna Evalita Situmorang, menjelaskan bahwa rupiah tertekan oleh meningkatnya permintaan dolar AS menjelang akhir kuartal dan libur panjang.
Selain itu, kebijakan tarif Presiden Trump menambah ketidakpastian global, dan pengumuman personel yang terkait dengan kebijakan ekonomi juga meningkatkan skeptisisme pasar.
"Kekhawatiran terhadap kesehatan fiskal dan perlambatan ekonomi menekan pasar saham dan obligasi," katanya.
5. Maybank
Ekonom Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menyampaikan bahwa pelemahan rupiah kali ini juga dipicu oleh aksi profit taking investor yang mengantisipasi libur panjang.
Selain itu, faktor eksternal lainnya adalah perkembangan perang dagang antara AS dan Meksiko serta Kanada yang dimulai pada 2 April 2025, yang menyebabkan ketidakpastian di pasar global.
Myrdal juga menyebutkan bahwa permintaan dolar yang tinggi untuk pembayaran utang luar negeri (ULN) dan impor, termasuk BBM, semakin menekan rupiah.
"Terdapat kemungkinan permintaan USD untuk pembagian dividen dan pembayaran utang pemerintah di akhir kuartal pertama," ujar Fikri C Permana, Ekonom Senior KB Valbury Sekuritas, yang juga menyoroti keluar masuk dana asing yang mendukung pelemahan rupiah.
Dari semua pandangan ini, mayoritas ekonom sepakat bahwa rupiah akan tetap tertekan, meskipun ada kemungkinan untuk melihat level resistensi di sekitar Rp 16.600.
Penyebab utama pelemahan adalah kombinasi dari faktor eksternal, seperti pengaruh kebijakan global, serta faktor domestik, termasuk pelemahan ekspor dan kebutuhan dolar yang tinggi.
Rupiah diperkirakan akan sulit menguat dalam waktu dekat, kecuali ada perubahan dalam sentimen pasar global atau kebijakan domestik yang lebih mendukung stabilitas nilai tukar.
Sumber: cnbcindonesia.com