![]() |
Oleh: Mohammad Effendy (Forum Ambin Demokrasi) |
KONDISI bangsa kita baik secara politik, ekonomi, maupun sosial tidaklah begitu kondusif. Di bidang politik, kita sedang menghadapi banyak masalah meski tidak terlalu muncul ke permukaan. Akan tetapi semua orang sangat menyadari bahwa suatu letupan kecil dapat memicu timbulnya gesekan politik yang berdampak besar. Proses pembahasan dan pengesahan UU TNI -untuk memberikan salah satu contohnya, menumbuhkan pro-kontra tajam di masyarakat. Pro-kontra dimaksud tidak berarti telah berakhir dengan diketoknya palu RUU dimaksud menjadi UU.
Di sektor ekonomi, terobosan Presiden Prabowo Subianto membangun Danantara yang mengakomulasi modal BUMN sehingga menjadi satu kekuatan besar dalam persaingan global. Satu pihak terobosan dimaksud dinilai sebagai langkah positif untuk memperkuat posisi tawar dalam interaksi dan juga pengembangan investasi lintas negara. Akan tetapi muncul juga kekhawatiran karena terobosan tersebut sedang mempertaruhkan nasib serta masa depan bangsa dan negara. Sebab, jika terjadi mismanajemen dalam pengelolaannya, maka bangsa kita akan runtuh dalam seketika.
Bersamaan dengan terobosan tersebut, dunia sedang digoncang dengan kebijakan ekonomi Amerika yang menaikkan tarif pajak barang impor, dan kebijakan itu tentu saja membawa dampak luar biasa terhadap ekonomi global termasuk negara kita Indonesia. Di tengah bangsa kita yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi masyarakat termasuk turunya nilai rupiah terhadap dolar Amerika, maka perang tarif pajak impor antar negara menjadi pukulan serius.
Di tataran masyarakat bawah, kondisi sosial ekonomi rakyat berada dalam tingkat kemiskinan yang sangat massif. Mereka hidup dalam lingkaran penderitaan yang sangat memprihatinkan, sehingga jangankan berpikir untuk pendidikan dan masa depan anak-anak, dapat makan saja agar bisa bertahan hidup sudah lumayan Rakyat kita benar-benar berada dalam kesengsaraan yang sempurna; tanpa ada pendampingan, tanpa ada perlindungan dari tindakan kesewenangan, tanpa ada kepedulian dari mereka yang memegang amanah jabatan, dan tanpa ada suara yang membela hak-hak mereka ketika dirampas paksa oleh orang-orang yang dipenuhi keserakahan.
Institusi-institusi negara, dan berbagai instrument demokrasi hanya tinggal plang nama tanpa berfungsi sebagaimana mestinya. Lembaga perwakilan yang saat pemilu dipenuhi dengan berbagai janji para caleg, sekarang hanyalah ruang kosong tanpa suara. Pengurus parpol sibuk mencari dana dan kemudian membagikannya kepada pemilik suara untuk mempertahankan jabatannya. Hukum tinggal deretan Pasal yang akan digunakan untuk menghukum mereka yang dianggap menghalangi “kerakusan” orang-orang yang ambisius.
Pers yang dulu mengklaim dirinya sebagai bagian dari pilar demokrasi ternyata juga menghadapi kesulitan untuk dapat mempertahankan jati dirinya. Sebagian ikut arus deras agar tidak tenggelam dalam sunyi, dan sebagian lagi yang ingin mencoba untuk terus mengemban “tugas sucinya” harus merelakan dirinya berada dalam bayang-bayang ketakutan tanpa ujung.
Apa lagi yang tersisa? Dunia maya yang dianggap sebagai sarana bebas untuk mengekspresikan berbagai pikiran, pendapat, serta aneka tayangan juga tidak luput dari pertarungan yang tidak kalah sengitnya dengan dunia nyata. Para ahli IT disewa oleh mereka yang berduit untuk membangun “pencitraan” seolah mereka orang hebat yang sarat dengan idealisme. Para buzzer dibayar agar bersuara lantang seakan mereka penjaga NKRI dan pengawal demokrasi sejati.
Berita viral yang menghiasi media sosial karena adanya kasus yang mengusik nurani masyarakat, oleh mereka yang merasa terpojok segera membuat berita viral lain untuk mengalihkan perhatian “netizen”. Tampil orang yang “ditokohkan” bersuara dengan gaya intelektual untuk memberikan perspektif berbeda sehingga memicu polemik. Akhirnya polemik itu yang menjadi viral, lupa dengan substansi berita awalnya.
Inilah kondisi faktual yang kita hadapi sekarang ini, dan kita berada di dalamnya – kesendirian di tengah hiruk-pikuk suara yang tidak jelas sumbernya –dipersekusi tanpa tahu kemana harus mengadukan dan meminta perlindungan- kebingungan untuk menilai mana kebenaran dan yang mana kebohongan dan seterusnya. Dunia kita adalah rimba belantara karena telah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban.