![]() |
Ilustrasi, kapas. Foto-Pixabay |
BORNEOTREND.COM, JAKARTA - Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Trade Map, impor kapas Indonesia (kode HS 5201) mencapai Rp13,38 triliun sepanjang 2024, dengan volume sekitar 405 ribu ton.
Angka ini menunjukkan tren penurunan dibanding 2022, namun tetap jauh dari kondisi ideal. Selama empat tahun terakhir, nilai impor kapas RI konsisten di atas Rp13 triliun per tahun. Bahkan pada 2022, nilainya sempat tembus Rp21,98 triliun saat harga global melonjak.
Impor kapas Indonesia mayoritas berasal dari Brasil, Argentina, Australia, China, Mali, Meksiko, Yunani, dan Spanyol. Ketergantungan ini terjadi karena kebutuhan industri tekstil dalam negeri tak sebanding dengan pasokan domestik.
Ironisnya, meski lahan tersedia, produksi kapas nasional sangat minim. Kementerian Pertanian mencatat produksi kapas 2020 hanya 127 ton dari total lahan 703 hektar turun drastis 54,6% dibanding tahun sebelumnya. Artinya, petani hanya menghasilkan sekitar 180 kg kapas per hektar, jauh dari produktivitas ideal 1,5-2,8 ton/ha kapas berbiji seperti di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Tanaman kapas sebenarnya banyak dibudidaya di era kolonial Hindia Belanda. Pada masa tersebut, kapas menjadi salah satu komoditas pertanian penting untuk memenuhi kebutuhan lokal dan industri tenun rakyat.
Tanaman kapas sebenarnya cocok tumbuh di daerah tropis seperti Indonesia. Terlebih, beberapa wilayah Indonesia sangat cocok seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Produksi kapas di Indonesia menurun drastis karena tantangan klasik seperti alih fungsi lahan, cuaca tidak menentu, serta minimnya harga jual yang menarik. Di sisi lain, petani juga lebih memilih komoditas pangan seperti jagung dan kedelai yang dianggap lebih menguntungkan secara jangka pendek.
Indonesia sejatinya sudah punya varietas unggul hasil pemuliaan, seperti Kanesia 8 dan Kanesia 9, yang memiliki panjang serat 29-30 mm dan kualitas yang memenuhi standar industri tekstil. Varietas ini tahan terhadap kondisi tropis, berumur pendek (genjah), dan memiliki potensi hasil tinggi. Total sudah ada 843 aksesi plasma nutfah kapas yang dikembangkan oleh BSIP Tanaman Pemanis dan Serat.
Namun, adopsi di tingkat petani masih sangat rendah. Banyak petani masih enggan mencoba varietas baru karena kurangnya informasi dan minimnya dukungan teknis.
Pengembangan kapas nasional masih menemui tantangan kelembagaan. Menurut laporan Ditjen Perkebunan, banyak petani kapas yang menganggap komoditas ini tidak menjanjikan dari sisi ekonomi. Selain itu, minimnya kemitraan dengan industri tekstil juga membuat rantai pasok tidak efisien.
Di masa pandemi 2020, pemerintah pernah memberikan subsidi benih dan pupuk, serta padat karya untuk petani kapas. Namun keberlanjutannya masih dipertanyakan, terutama dalam hal pembinaan petani dan akses pasar.
Untuk keluar dari ketergantungan impor, Indonesia harus menyusun strategi menyeluruh. Beberapa langkah dapat dilakukan seperti pemetaan lahan marginal potensial di wilayah NTB, Sulsel, Jateng, dan NTT untuk pengembangan khusus kapas. Lalu substitusi impor melalui varietas lokal, seperti Kanesia series dan kapas transgenik yang disesuaikan dengan agroekosistem lokal.
Infrastruktur teknologi tepat guna mulai dari irigasi hemat air hingga digitalisasi rantai pasok dan juga kemitraan dengan industri tekstil juga perlu dilakukan.
Selain itu, karena besarnya kompetisi dengan komoditas lain seperti jagung dan kedelai , penting pula untuk konsiderasi kebijakan subsidi dan insentif bagi petani kapas.
Saat ini Indonesia masih mengimpor kapas lebih dari Rp13 triliun per tahun, padahal di sisi lain, negara ini memiliki varietas unggul, sumber daya genetik berlimpah, dan lahan-lahan marginal yang bisa dioptimalkan. Jika ada kemauan dan dukungan lintas sektor, bukan mustahil Indonesia bukan hanya mandiri kapas tetapi juga mampu menjadi eksportir kapas tropis yang kompetitif secara global.
Sumber: CNBC Indonesia